Page Nav

HIDE

Ads Place

Syariat Islam Menyatu dalam Budaya Adat Aceh

Syariat Islam Menyatu dalam Budaya Adat Aceh Mihrab Syariat Islam Menyatu dalam Budaya Adat Aceh Masyarakat Aceh terkenal san...

Syariat Islam Menyatu dalam Budaya Adat Aceh

Mihrab

Syariat Islam Menyatu dalam Budaya Adat Aceh

Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, dan memiliki budaya adat yang identik dengan Islam

Syariat Islam Menyatu dalam Budaya Adat AcehBadruzzaman Ismail

Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, dan memiliki budaya adat yang identik dengan Islam. Kehidupan budaya adat Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Masyarakat Aceh menyesuaikan praktek agama dengan tradisi atau adat istiadat yang berlaku, hal ini terlihat dalam kehidupan sosial budaya Aceh. Sebagai hasilnya Islam dan budaya Aceh menyatu, sehingga sukar dipisahkan. Disini kaid ah syariat Islam sudah merupakan bagian dari adat atau telah diadatkan. Sebaliknya, adat merupakan bagian dari Islam, atau yang telah diislamkan.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, dalam masyarakat Aceh juga berlaku ketentuan bahwa adat itu ada dua. Pertama, ketentuan Allah SWT yang tidak berubah sepanjang masa dan kedua adat kebiasaan masyarakat berdasarkan syariat Islam.

Demikian antara lain disampaikan Ketua Majelis Adat Aceh (MAA), H. Badruzzaman Ismail, SH M.Hum saat mengisi pengajian rutin Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI) di Rumoh Aceh Kupi Luwak, Jeulingke, Rabu (3/10) malam.

“Islam dan budaya adat Aceh menjadi satu paket yang tak terpisahkan. Keduanya menyatu dan sangat berkaitan erat dalam kehidupan masyarakat Aceh. Budaya adat Aceh sangat kental dengan Islam. Sebaliknya, Islam tidak bisa dipisahkan dari budaya adat Aceh,” ujar Badruzzaman pada pengajian yang dimoderatori Tgk. Mulyadi Nurdin Lc MH ini.

Menurutnya, budaya biasa diis tilahkan dengan culture. Itu merupakan hasil buah pikir manusia yang dipengaruhi oleh lingkungan, tempat dan waktu dengan tujuan untuk mencapai kebahagiaan. Karena itu budaya yang dihasilkan manusia di dunia ini ada yang berbentuk sekuler, marxis, atheis, materialis, sosialis dan sebagainya. Hasil buah pikir itu menjadi adat kebiasaan yang pada akhirnya menjadi sebuah kebudayaan.
Ketua MAA yang akrab disapa Pak Bad ini lebih sepakat dengan istilah budaya adat Aceh bukan budaya Aceh. Itu penting karena istilah itu memberi dampak filosofis, historis dan cita-cita kita sebagai orang Aceh. Budaya adat Aceh mengandung nilai-nilai religius dalam bingkai syariat Islam. Jadi, nilai syariat Islam itu mutlak harus dijiwai dalam budaya adat Aceh.

“Karenanya, kita punya tamsilan adat dengon hukum lagee zat dengon sifeut. Jadi saling ada keterikatan antara adat dengan syariat, bukan seperti budaya yang diistilahkan dengan culture pada umumnya,” terangnya.
Kita punya nilai khu sus dan istimewa terkait dengan syariat Islam. Karena itu budaya kita tidak boleh lepas dari syariat. Seperti setiap pekerjaan harus diniatkan Lillahi ta’ala dan harus dimulai dengan membaca Bismillah. Ini tidak ada di budaya lain. Makanya tidak pernah ada orang main judi dibacakan doa di situ. Sedang di semua acara kita lainnya diharuskan untuk memulainya dengan Bismillah.
“Budaya adat Aceh bukan hanya peusijuek-peusijuk orang, itu hanya debunya saja. Boleh ada atau tidak. Dalam peusijuek juga ada intinya yang bernilai syariat Islam yaitu baca bismillah. Value atau nilai adat tidak boleh hilang . Nilai yang berlandaskan syariat tidak boleh berubah, formatnya saja boleh apa saja . Seperti berpakaian, valuenya tutup aurat, model terserah apa saja, intnya tutup aurat tercapai,” sebutnya.

Badruzzaman Ismail juga mengungkap nilai-nilai filosofis yang terkandung dari budaya adat Aceh sesuai dengan isi Alquran Surat Al-Hujurat Ayat 13 agar manusia saling kenal mengenal.

“Kita ini hidup bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal satu sama lain dengan satu tujuan mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan itu tercipta dengan kita sesama saling melengkapi satu sama lain. Kalau Al-Quran mengistilahkannya dengan Lita’arafu atau untuk saling kenal mengenal. Kalau saya menerjemahkan lita’arafu itu sebagai pasar. Dimana di pasar itu menghasilkan karya-karya manusia, seperti menghasilkan kue bhoe, timphan, termasuk alat-alat canggih saat itu untuk kebahagiaan manusia di dunia dan kita muslim tentu untuk kebahagiaan dunia dan akhirat. Harus ada keseimbangan antara dunia dan akhirat,” ungkapnya.(adi/rel)

Editor: bakri Sumber: Sinyal Ikuti kami di Sumber: Google News Islam Network: Koranmu Indonesia

Tidak ada komentar

Ads Place