Page Nav

HIDE

Ads Place

Bagaimana Posisi Kepala Desa di Pemilu 2019?

Gambar: tifafoundation.org Saat ini terdapat 83.370 desa/kelurahan di Indonesia, yang tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kot...

Gambar: tifafoundation.org


Saat ini terdapat 83.370 desa/kelurahan di Indonesia, yang tersebar di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota, 6.497 desa di antaranya berada di Aceh. Pasal 1 angka 1 UU No.6 Tahun 2015 tentang Desa, menyebutkan bahwa desa adalah “kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan hak/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Menurut Qanun Aceh No.4 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Keuchik di Aceh menjelaskan, desa atau gampong atau nama lain adalah “kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh seorang keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.” Setiap desa atau kelurahan tentunya memiliki seorang kepala desa (kades).

Penyebutan kepala desa antara satu daerah dengan lainnya tidak sama: Di Jawa Barat atau umumnya orang Sunda menyebut kuwu; Di Minang disebut wali nagari; Di Bali disebut perbekel dan di Jawa secara umum menyebutnya lurah. Sedangkan di Aceh sendiri penyebutan kepala desa pun varian; Di Aceh Tengah dan Bener Meriah umumnya menyebut reje, dan datok penghulu di Aceh Tamiang. Secara umum di Aceh penyebutan kepala desa adalah keuchik. Pasal 25 UU Desa memang memberikan kebebasan kepada daerah untuk menyebut kepala desa dengan bahasa daerah atau istilah-istilah yang sudah masyhur di kalangan masyarakat adat.

Dalam masyarakat adat kepala desa adalah orang yang sangat dihormati. Masyarakat akan mendengar petuahnya, bahkan tidak jarang kepala desa mampu menjadi imam salat rawatib, bahkan menjadi khatib Jumat. Kepala desa memiliki peran sentral di tengah-tengah masyarakat, bukan hanya menyelenggarakan pemerintahan desa secara umum, tetapi juga menyelesaikan masalah masyarakat yang terjadi di wilayahnya.

Kepala desa merupakan kepala eksekutif paling rendah di Indonesia yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Seluruh persoalan masyarakat akan disampaikan dan ditanyakan ke kepala desa. Dilihat dari tanggung jawab dan perannya yang cukup besar, dan untuk menghidari penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan, termasuk memihak ke satu kontestan dan partai politik (parpol) tertentu pada musim pemilu, sudah waktunya fasilitas dan nilai pragmatisme lainnya diberikan untuk kepala desa.

Pada tahun politik terutama menjelang pilkada, pileg, dan pilpres, kepala desa menjadi incaran para pelaksana kampanye atau tim sukses. Bukan rahasia umum, baik kepala daerah (petahana) maupun fungsionaris parpol umumnya ketika hendak mencalonkan kembali atau ketika berambisi menjadi top leader di daerahnya, kepala desa adalah orang yang paling awal didekati. Di Indonesia kepala desa bertugas menyelenggarakan pemerintahan desa, melaksanakan pembangunan, pembinaan, dan pemberdayaan masyarakat.

Larangan dan sanksi
Pasal 280 ayat (2) UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu (disebut UU Pemilu) menegaskan bahwa pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan kepala desa dan perangkat desa. Pasal 282 UU Pemilu secara tegas menyatakan bahwa dilarang pula membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan satu peserta pemilu selama masa kampanye.

Dalam menghadapi tahapan pemilu, termasuk pada masa kampanye, terdapat tiga hal utama yang paling rentan seorang kepala desa dianggap telah melanggar sumpah dan janjinya serta menyalahgunakan wewenang, tugas, hak dan kewajibannya, yaitu: Pertama, membuatkeputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu. Jika kepala desa mengajak atau mengarahkan warganya untuk memilih pasangan atau caleg tertentu pada masa pemilu, itu artinya telah membuat keputusan yang merugikan peserta pemilu lainnya dan dapat dipidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 12 juta.

Kedua, melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu. Seorang kepala desa harus benar-benar netral, dan bukan hanya pada masa pemilu saja, tetapi termasuk pada semua kondisi dan situasi. Dan, ketiga, ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah. Yang ketiga ini cukup tegas bahwa kepala desa tidak boleh terlibat dalam kampanye apapun.


Selain tiga hal utama di atas, masih banyak hal-hal lain yang seharusnya tidak dilakukan oleh seorang kepala desa, karena konsekuensinya bukan hanya dianggap telah melakukan pelanggaran administrasi, tetapi mereka dapat dikenakan sanksi pidana penjara dan denda. Hukumannya pun bervariasi, paling rendah satu tahun dan paling lama enam tahun serta denda mulai Rp 12 juta dan maksimal Rp 1 miliar.

Di antara larangan lainnya bagi kepala desa pada masa tahapan pemilu adalah memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri sendiri atau diri orang lain tentang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih. Kemudian kepala desa dilarang diskriminatif dan tidak independen, yakni mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya kampanye pemilu di wilayahnya. Larangan serupa juga termasuk perangkat desa maupun anggota Badan Permusyawaratan Desa yang ikut sebagai pelaksana dan tim kampanye pemilu. Selain itu, tidak memberitahukan pilihan pemilih kepada orang lain.

Dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya dan dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran pemilih menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai pemilih dalam pemilu. Kemudian pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah.

Larangan lain adalah melakukan perbuatan yang menyebabkan suara seorang pemilih menjadi tidak bernilai atau menyebabkan peserta pemilu tertentu mendapat tambahan suara atau perolehan suara peserta pemilu menjadi berkurang. Dengan sengaja merusak atau menghilangkan hasil pemungutan suara yang sudah disegel.

Membuat surat atau dokumen palsu dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang memakai, atau setiap orang yang dengan sengaja memakai surat atau dokumen palsu untuk menjadi bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, untuk menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sanksi pidananya 6 (enam) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 72 juta.

Demikian juga dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum memalsukan data dan daftar pemilih. Dilarang pula menggunakan anggaran pemerintah termasuk dana desa atau dana bada usaha milik desa untuk disumbangkan atau diberikan kepada pelaksana kampanye. Ancaman pidana terakhir ini berupa 3 (tiga) tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar. Larangan-larangan tersebut di atas dikenakan juga bagi setiap warga negara Indonesia yang sudah memiliki haknya sebagai pemilih.

Penulis:
Yusuf Al-Qardhawy Al-Asyi, SHI., M.H.
Komisioner Panwaslih Kota Banda Aceh, penulis buku “Larangan dan Sanksi Pemilu 2019”
Email: thebeeislam@ymail.com

Sumber: http://aceh.tribunnews.com/2018/12/19/posisi-kepala-desa-pada-pemilu-2019?page=2.

Tidak ada komentar

Ads Place