Politik dan Kesehatan, Topik Favorit Penyebar Hoax Cindi Eka Putri / Islaq Hastita Hamzah / Heru Andriyanto / HA Senin, 8 Oktobe...
Cindi Eka Putri / Islaq Hastita Hamzah / Heru Andriyanto / HA Senin, 8 Oktober 2018 | 02:37 WIB
Ratna Sarumpaet mungkin ingin terlihat pintar, heroik, dan sangat kritis ketika dia menyebarkan kabar bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo telah menjual PT Dirgantara Indonesia ke Tiongkok. Yang terjadi kemudian adalah, dia terpaksa harus buru-buru menghapus kicauannya itu di Twitter, karena kabar itu dikonfirmasi hoax dan dibantah langsung oleh perusahaan bersangkutan.
Banyak netizen yang menertawakan cuitan Ratna bulan Mei itu, "mau terlihat pintar, eh malah ketahuan bodohnya."
Sekarang kita tahu Ratna telah naik level dari "penyebar hoax" menjadi -- seperti yang diakuinya sendiri -- "pembuat hoax terbaik".
Dia mendekam di tahanan polisi setelah ketah uan membuat pernyataan bohong telah dianiaya sejumlah orang, padahal bengkak di wajahnya akibat operasi plastik.
Yang mungkin tidak kita sadari adalah, banyak dari yang menertawakan Ratna -- mereka sendiri pernah menyebarkan hoax. Tak harus soal politik, karena ada topik lain yang juga mendominasi hoax: isu kesehatan.
Sebuah informasi muncul di WhatsApp Group menyebutkan bahwa jika kita mengonsumsi obat merek Z, maka akan timbul bisul di seluruh tubuh. Narasinya dibuat seilmiah mungkin, disertai foto orang setengah telanjang dengan tubuh penuh bisul. Lalu ditutup dengan perintah: "Sebarkan! Selamatkan orang-orang terdekat dan keluarga yang Anda cintai dari bahaya obat ini!"
Bapak A dengan patuh segera membagikan kabar ini dengan keyakinan bahwa dia berjasa menyelamatkan orang lain dari bencana bisul.
Dia tidak tahu bahwa kabar itu sudah dikonfirmasi pihak berwenang sebagai hoax atau berita bohong.
Tahunya adalah menyelamatkan orang, tetapi yang sebetulnya dilakukan Bapak A adalah menyebarkan fitnah dan kebohongan, yang bertentangan dengan norma agama, norma sosial, dan bahkan norma hukum.
Kisah nyata ini dialami oleh jutaan pemilik ponsel lainnya dengan cerita hoax yang berbeda, sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu konsumen hoax terbesar di dunia.
Kalau Bapak A meluangkan waktu sebentar, penjelasan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) soal itu sudah banyak diberitakan media arus utama. Namun, banyak orang merasa sudah mendapat semua informasi melalui media sosial dan tak merasa perlu membaca lagi berita dari media resmi.
Masalah kesehatan adalah topik kedua setelah politik yang paling banyak dipilih para pembuat hoax, apa pun motivasinya, menurut pendapat dari kelompok relawan Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (Mafindo).
âSampai bulan September kebetulan yang paling banyak ada dua, pertama itu politik, kedua kesehatan, yaitu tentang vaksin,â kata Muhammad Khairil, anggota tim fact checker Mafindo saat ditemui Beritasatu di Jakarta belum lama ini.
Namun, dia tidak menyebutkan berapa jumlahnya.
Rekan dia, Dedy Helyanto, mengatakan hal yang sama. Beberapa waktu lalu di bidang kesehatan terdapat hoax tentang imunisasi rubella, sedangkan kabar bohong terkait politik nyaris tak bisa dihitung karena terus muncul apalagi di tahun politik seperti sekarang.
âBeberapa waktu lalu ada soal imunisasi rubella berkala dan berbarengan itu jadi permasalahan. Nah kalau politik itu continue setiap bulan, karena kan prosesnya terus berjalan,â kata Dedy.
âKetika (calon presiden) belum terdaftar ke KPU sampai sudah terdaftar, dan sekarang masuk masa kampanye politik, itu nggak putus hoax-nya."
Kebanyakan berita bohong tentang politik ditujukan untuk menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Sekitar dua tahun lalu sempat beredar kabar yang sangat konyol tetapi tersebar secara masif dan menjadi perbincangan di seluruh negeri. Logo palu arit disebutkan dicetak di uang kertas yang diterbitkan Bank Indonesia.
Begitu meluasnya kabar ini sehingga BI dan para pejabat moneter lain harus memberikan klarifikasi ke masyarakat tentang water mark pada uang kertas yang diributkan itu. Isu tentang "China" dan "komunis" tampaknya sangat digemari para kreator hoax politik di Indonesia.
âMenyerang (kekuatan) politik itu paling mudah dengan cara hoax,â kata ketua tim fact checker Mafindo, Aribowo Sasmito.
Apalagi, kata dia, masyarakat akan selalu menyukai obrolan politik, dan isu ini merupakan isu yang paling renyah untuk dijadikan obrolan.
âMasyarakat sampai kapan pun akan selalu su ka ngobrolin politik, maka hoax yang paling laku ya tema politik.â
Aribowo mengatakan kesehatan juga menjadi topik utama untuk menyebarkan hoax, karena masyarakat Indonesia mempunyai orientasi kekeluargaan dan religius. Tanpa berpikir panjang dan melakukan pengecekan, penerima hoax kesehatan akan langsung menyebarkannya karena merasa itu bermanfaat bagi keluarga dan kerabat terdekatnya.
âMotivasinya adalah, 'wah jangan sampai nih, keluarga saya atau teman-teman saya kena penyakit ini juga',â jelasnya.
â
Ingin Terlihat Pintar
Artikel bohong tentang kesehatan biasanya dikemas dengan tulisan yang terlihat sangat ilmiah, menyasar orang yang ingin dirinya terlihat cerdas di mata teman atau keluarganya.
Orang seperti ini akan segera menyebarkan berita yang menurutnya sangat cerdas dan ilmiah, agar dia juga terlihat seperti itu. Kalau perlu menjadi yang pertama menyebarkannya.
Mis alnya sebuah artikel yang ditulis dengan cara yang sangat runut bahwa kebiasaan minum es sehabis makan sangat berpotensi menyebabkan kanker usus karena bla bla bla. Faktanya, tidak ada penelitian ilmiah yang mendukung teori tersebut.
Psikolog Putri Langka mengatakan orang menjadi penyebar hoax karena adanya kepentingan atau karena dia ingin menjadi yang pertama memberikan informasi kepada kerabat atau masyarakat.
"Kita harus membedakan yang menyebarkan karena ada kepentingan dengan mereka yang memang kena efek snowball saja. Orang-orang yang punya kepentingan tentu mereka cenderung untuk sengaja menyebarkan berita-berita seperti itu karena mendapat keuntungan dari situ," kata Putri.
Sedangkan kelompok kedua adalah orang-orang yang ingin terlihat pintar tadi.
"Jadi begitu tahu, harus cepat-cepat di-share, supaya mungkin jadi rujukan oleh komunitasnya, teman-temannya, atau segala macamnya, karena mereka sangat ingin menjadi pertama," jelas Putri.
Sifat seseorang yang gatal ingin segera menyebar kabar tanpa melakukan pengecekan menurut Putri tidak ada hubungannya dengan psikologi seseorang.
Putri menjelaskan kebanyakan orang memang lebih tertarik pada berita negatif yang bersifat viral.
"Orang punya kecenderungan untuk menyukai berita-berita yang bombastis, dan biasanya berita bombastis memang banyak negatifnya," ucapnya.
"Gangguan psikologis sih enggak, karena kacenderungan semua orang memang seperti itu."
Sumber: BeritaSatu.comSumber: Politik
Tidak ada komentar