Politik Kebohongan Opini Politik Kebohongan DI tengah bencana di Sulawesi Tengah, tiba-tiba muncul âdramaâ penganiayaan y...
Opini
Politik KebohonganDI tengah bencana di Sulawesi Tengah, tiba-tiba muncul âdramaâ penganiayaan yang menimpa aktris teater
Oleh Teuku Kemal Fasya
âBetapapun cepatnya melesatnya kebohongan itu, kebenaran akan mengejarnya jua.â (Tan Malaka)
DI tengah bencana di Sulawesi Tengah, tiba-tiba muncul âdramaâ penganiayaan yang menimpa aktris teater senior Ratna Sarumpaet (RS). Kisah itu sempat melahirkan âsimpati ekstremâ dari politikus oposisi. Sosok seperti Hanum Salsabila Rais, Rachel Maryam, Fachri Hamzah, dan Fadli Zon ikut âmenggorengâ kasus itu untuk mendis kriminasi pemerintah.
Yang paling fatal Prabowo. Ia membuat konferensi pers mengutuk kekerasan atas RS yang mukanya lebam-lebam dari foto-foto yang beredar. Ia menganggap perlakuan terhadap RS adalah wujud pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang seharusnya tidak dibiarkan di alam demokrasi.
Akhirnya, kebohongan itu tak dapat dipertahankan lagi. Polri melakukan penyelidikan dan membuktikan tidak ada penganiayaan itu. Demikian pula investigasi yang dilakukan di dunia media sosial, bahwa muka bonyok itu bukan karena karena pengeroyokan di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, pada 21 September, tapi karena dampak trauma operasi plastik.
Permintaan maaf dari RS sehari setelah konferensi pers Prabowo terjadi, karena telah tersudut. Publik sudah mulai membuka kepalsuan RS, tiktoknya menjadi bahan tertawaan, dan muncul pengakuan bahwa para setan telah memaksanya untuk berbohong.
Borok politik
Kasus ini memalukan bukan saja bagi SR. Bayangkan di masa tua ia harus hancur oleh kebohongan heboh ini. Namun, secara luas ini menjadi borok politik atas tata perilaku (conduction) elite politik kita yang sesungguhnya juga kerap berkata tidak benar. Seorang SR saat ini tentu akan dikenang sebagai âpencipta hoax terbaikâ: melodramatisasi kebohongan untuk menjadikan diri sebagai korban, sekaligus memberi citra negatif kepada lawan. Namun ini juga membuka cermin politikus yang terbiasa ngecap atau asal tuduh. Ketika kebohongannya diketahui publik ia mencari jalan selamat tanpa pernah merasa bersalah.
Bagi publik, bohong-bohong politik ini menyumpekkan. Publik semakin trauma dengan sindrom politik kotor dan penuh bau nanah. âPolitik tujuan menghalalkan ala Macchiavellianâ adalah peneguhan akan siasat yang tidak memerlukan lagi sandaran moral, nurani, dan etika kebaikan.
Padahal politik, sebagai sumber utama legitimasi memerlukan etika dan kebaikan. Politik tanpa kebaikan adalah politik yang tak berprinsip, ungkap Mahatma Gandhi (1869-1948), pendiri negara India. Menurut Gandhi perilaku itu adalah tujuh dosa sosial yang harus dijauhi umat manusia.
Politik tak berprinsip adalah politik yang hanya mengaktualisasikan hasrat untuk berkuasa. Makhluk penguasa (zoon politicon) laksana binatang buas, pemangsa, dan predator adalah pemakan akal budi. Ketika menemukan orang yang biasa menjilat, oportunis, egois, pragmatis, ovonturir, dan suka asal bicara maka itulah duplikat politikus tuna etika.
Halaman selanjutnya 123
Tidak ada komentar