Page Nav

HIDE

Ads Place

Politik Pendidikan Islam

Di tengah gegap gempita perpolitikan nasional, tiba-tiba tersiar kabar bahwa, draf Undang-Undang (UU) Pesantren dan Pendidikan Keagam...



Di tengah gegap gempita perpolitikan nasional, tiba-tiba tersiar kabar bahwa, draf Undang-Undang (UU) Pesantren dan Pendidikan Keagamaan ditetapkan menjadi salah satu usulan inisiatif DPR. Keputusan itu diambil dalam rapat paripurna masa persidangan I tahun sidang 2018-2019, tanggal 16 Oktober 2018.

Terlepas dari pro ataupun kontra yang mengiringi penetapan tersebut, ada satu hal yang menarik dicatat, yaitu pendidikan Islam menjadi wacana politik dan perbincangan publik. Oleh karena itu, suatu kajian tentang politik pendidikan Islam semakin penting.

Fungsi utama kajian politik pendidikan Islam adalah memberikan orientasi berpikir realistik, bahwa pendidikan Islam bukan semata-mata praktik pendidikan, tetapi praktik pendidikan yang bermuatan dakwah. Lebih dari itu, susunan pendidikan Islam bukan sema-mata bersifat normatif sebagai ikhtiar sosialisasi ajaran Islam, tetapi acapkali merupakan produk keputusan politik dan desakan kebutuhan masyarakat.

Meminjam konsepsi Deliar Noer (1983) dan Maurice Duverger (1982: 24), politik merupakan segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macam bentuk susunan masyarakat.

Bertolak dari definisi tersebut, dapat dirumuskan bahwa politik pendidikan Islam ialah segala aktivitas atau sikap yang berhubungan dengan kekauasaan di bidang pendidikan Islam yang bermaksud memengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu bentuk susunan pendidikan Islam.

Berangkat dari konsepsi di atas, secara garis besar wilayah kajian politik pendidikan Islam dapat dilihat dari dua sudut pandang, kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Sudut pandang negara berkaitan dengan, bagaimana kebijakan pemerintah dalam memahami dan memecahkan permasalahan pendidikan Islam. Sedangkan sudut pandang masyarakat berkaitan dengan segala aktivitas pendidikan yang diselenggarakan oleh umat Islam, dan sikapnya terhadap kebijakan pemerintah.

Seperti diketahui aktivitas pendidikan yang diselenggarakan secara swadaya (swasta/partikelir) oleh umat Islam telah berlangsung jauh-jauh hari sebelum Negara Indonesia merdeka.

Hingga saat ini aktivitas pendidikan Islam tersebut masih bertahan, dan malah semakin berkembang. Ini artinya kekuatan politik pendidikan umat Islam akan tetap berpengaruh selagi kehadiran sekolah, madrasah dan pesantren masih eksis.

Di sebelah lain, bila dilihat dari sudut kekuasaan negara terhadap pendidikan Islam juga dapat dibagi menjadi dua, masa penjajahan dan kemerdekaan. Pada masa penjajahan kekuasaan negara digunakan untuk membatasi dan mengkerdilkan pendidikan Islam dengan jalan memperkenalkan sekolah Barat-Belanda secara diskriminatif untuk golongan tertentu.

Ketika memasuki masa kemerdekaan kebijakan itu diubah dengan jalan memberikan jaminan hukum atas eksistensi pendidikan Islam. Pengajaran agama mulai diadakan di sekolah milik pemerintah.

Setelah zaman merdeka, pemerintah telah tiga kali membuat undang-undang pendidikan nasional, yaitu: UU Nomor 4/1950 tentang Dasar-Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, UU Nomor 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan UU Nomor 20/2003tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Dalam ketiga perundang-undangan tersebut keberadaan pendidikan Islam sebagai lembaga keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat diakui keberadaannya. Dengan kata lain, dalam konteks pendidikan nasional, pendidikan Islam merupakan salah satu unsur yang memperaya sistem pendidikan nasional.   

Demikianlah jejak-jejak pendidikan Islam dalam konfigurasi politik di Indonesia. Setelah selintas menengok ke belakang, pertanyaannya adalah apa makna kehadiran draf UU Pesantren dan Pendidikan Keagamaan. Perlu dijelaskan bahwa lembaga pendidikan Islam beragam jenisnya, seperti: pesantren, madrasah, dan sekolah. Madrasah dan sekolah sudah diatur dalam perundang-undang pendidikan

Memang hal tentang Pesantren belum diatur secara khusus. Masalahnya adalah apakah perundangan yang mengatur tentang itu perlu dibuat sendiri? Pertama-tama harus ditekankan bahwa pesantren sejatinya adalah memiliki karakteristik sendiri dan  bersifat pendidikan nonformal.

Dilema dan berbagai kerumitan pendidikan Islam semakin memperjelas bahwa suatu kajian politik pendidikan Islam memang mendesak. Oleh karena itu, usulan kongkritnya adalah selayaknya FKIP dan fakultas Tarbiyah mengadakan mata kuliah politik pendidikan Islam. Pada saat bersamaan, kajian ilmu politik juga layak menjadi masalah pendidikan Islam sebagai mata kuliah.

Penulis: Mohamad Ali
Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Muhammadiyah Surakarta
Sumber: Politik

Tidak ada komentar

Ads Place