Kekayaan Dalam Subsidi BBM Subsidi BBM selama ini dianggap sebagai akar penyebab dari berbagai permasalahan keuangan dan energy Indonesi...
Kekayaan Dalam Subsidi BBM
Subsidi BBM selama ini dianggap sebagai akar penyebab dari berbagai permasalahan keuangan dan energy Indonesia. Pada tahun ini subsidi BBM yang sebesar Rp. 95,9 triliun dinilai sudag sangat membebani amggaran Negara. Beban makin membesar ketika sampai bulan Maret 2011 harga minyak mentah dunia melonjak menjadi lebih dari US $ 100/barel. Seperti diketahui sejak tahun 2008 Indonesia harus mengimpor minyak mentah sebanyak 247 ribu buph dan BBM sebesar 424 ribu buph. Impor BBM tersebut saat ini sudah meliputi 30% dari kebutuhan BBM dalam negeri. Kenaikan penerimaan karena Indonesia juga mengekspor minyak mentah sebesar 399 ribu bph dikalkulasikan tetap lebih kecil dibanding kenaikan besaran subsidi akibat lonjakan harga tersebut. Menteri keuangan memperkirakan beban tambahan subsidi karena lonjakan harga sebesar Rp 7 triliun, ketika konsumsi BBM bersubsidi mencapai 42 juta kilo liter, melebihi kuota BBM bersubsidi sebanyak 38,5 juta kilo liter. Subsidi BBM juga dianggap turut mendorong peningkatan konsumsi BBM yang pada tahun ini sudah mencapai 1,3 juta bph. Oleh karena itu, subsidi BBM juga dijadikanalasan yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendorong konseevasi energi dan pengembangan energi alternatif terbarukan. Menteri ESDM mengutamakan bahwa sekitar 25 persen dari penghasilan perbulan teratas perkumpulan rumah tangga dengan menerima alokasi subsidi sebesar 77%. Dan 25% dari penghasilan perbulan perkumpulan rumah tangga dengan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15%. Sebagian daftar hitam subsidi BBM menjadi sumber bagi upaya untuk menentukan harga BBM sesuai dengan harga perekonomian. Sepintas tidak terlihat lagi alternatif jalan selain pengurangan (penghapusan) subsidi BBM seperti yang sedang diupayakan pemerintah. Seolah pula semua yang dijadikam pijakan kebijakan pemerintah tersebut adalah jalur yang benar. Pada akhirnya akademik perguruan tinggi hanya sekedar diminta masukan perihal opsi teknikal pengurangan subsidi seperti apa yang layak dijalankan. Pada kenyataanya, dengan asumsi harga minyak sebesar US $ 80 per barel maka penerimaan Negara sebesar RP. 205,4 triliun dan subsidi BBM tercatat RP. 136,6 triliun. Semntara dengan kenaikan harga minyak internasional menjadi sebesar US $ 100 per barel maka penerimaan menjadi Rp. 256,9 triliun dan subsidi sebesar Rp. 206,4 triliun (Reforminer Institute, 2011). Dengan begitu, istilah âsubsidi BBMâ adalah karena sisi penerimaan dan sisi pengeluaran BBM pemerintah dikalkulasi secara terpisah. Keterangan ini akan memberikan alternatif perdagangan dan masukan bagi pemerintah perihal subsidi dan harga BBM, pengelolaan energi/sumber daya alam, serta pengelolaan anggaran dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Paparan dan analisis dalam keterangan ini merujuk perspektif ekonomi kerakyatan, seperti yang telah diamanatkan para pendiri bangsa dalam pasal 33 ayat (1), (2). Dan (3) UUD 1945. Penjelasan Pasal 33 ayat (1) sebelum amandemen menyebutkan secara eksplisit perihal demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), yaitu system ekonomi dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, dibawah pimpinan dan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Penghapusannya dalam UUD pasca amandemen bukan berarti dihapuskanya pula substansi ekonomi kerakyatan. Keterangan ini akan menguraikan pula keterkaitan antara demoblisasi frasa tersebut dengan agenda demoblisasi berbagai subsidi, termasuk subsidi BBM.
Kepemillikan faktor produksi. Dimensi dasar dalam ekonomi kerakyatan adalah aspek kepemilikan dan control faktor produksi, termasuk didalamnya terhadap energi dan sumber daya alam. Ketimpangan, ketidakadilan, ketergantungan, kerusakan alam, dan kemelaratan umumnya adalah permasalahan struktural yang berkaitan dengan dominasi, monopoli dan konsentrasi faktor produksi pada segelintir orang. Minyak dan gas sebagai barang public maka idealnya berlaku kepemilikan bersama, sehingga setiap orang memiliki aksesi terhadap sumber daya tersebut. Para pendiri bangsa pun memilik dalam demikian. Dalam Pasal 33 ayat (2) mengenai penjelasan tentangâ cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang memengaruhi hajat orang banyak dikuasai oleh Negara â Selepas diabaikannya ruh pemikiram pendiri bangsa tersebut maka saat ini menghadapi era dimana setiap orang berlomba-lomba untuk berkuasa atas sesuatu yang sebenarnya menjadi milik bersama. Penguasaan dengan merebut dan mengambil alih, yang sering dinamakan dengan istilah sulit privatisasi dan liberalisasi sejak puluhan tahun belakangan ini telah berakibat pada konsentrasi faktor produksi pada segelintir orang, kebanyakan dari luar negeri. Sebagaian besar control migas Indonesia berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsensi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia.
Produksi dan Alokasi                                                               Dimensi berikutnya dalam perspektif ekonomi kerakyatan adalah menyangkut produksi dan alokasi. Kepemilikan dan control atas migas Indonesia oleh orang-seorang mayoritas dati luar negeri telah menimbulkan ketergantungan produksi dan alokasi hasil-hasil produksi migas. Optimalisasi sumber daya dan kebutuhan masyarakat dalam negeri dengan mode ketergantungan tersebut atau tidak lagi menjadi prioritasi. Tersedianya capital, tekonologi dan ahli-ahli migas dalam negeri dengan begitu tidak mampu didayagunakam secara optimal. Produksi minyak dengan berbagai kepentingan dialokasikan 40%-nya untuk pasar luar negeri. Demikan halnya 47,8% produksi gas juga di alokasikan ke pasar luar negeri. Hal ini dimungkinkan karena di Indonesia migas dijual pihak ketiga di Singapore, dimana biaya produksinya pun juga ditentukan berdasarkan Mean of Plat Singapore(MOPS) dan biaya distribusi marjin alpha. Oleh karenanya, sampai saat ini berapa sebenarnya biaya produksi BBM perliter masih sepenuhnya terang dan jelas. Pada tahun 2010 pemerintah menetapkan cost recovery sebesar US $12 miliar atau setara dengan Rp. 108 Trilyun, yang ditambah dengan perkiraan biaya produksi Pertamina maka rata-rata biaya produksi total per tahun adalah Rp. 120 trilyun (Kurtubi, 2010). Di sisi lain, beban anggaran pemerintah kiranya terkait dengan kepemilikan, kontrol, produksi, dan alokasi oleh orang-seorang(korporasi) luar negeri sehingga pencapaian migas pada APBN 2010 adalah sebesar Rp. 201 trilyun.     Penguasaan korporasi migas di sektor hulu kini mulai diperluas pada sektor hilir, di mana Sheel, Petronas, dan Total sudah membuka usaha eceran BBM dengan mendirikan 68 SPBU di beberapa kota besar. Korporasi sawasta yang berorientasi laba maksimum pemiliknya yang orang-seorang tentu tidak akan sanggup bersaing dengan harga BBM Pertamina yang dimiliki oleh 230juta warga bangsa. Oleh karenanya, âsubsidi BBMâ dianggap sebagai batu sandungan bagi kepentingan ekspansi mereka harus dihapuskan sesuai saran ADB, atau USAID. Harga yang disebut sebagai âharga keekonomianâ dengan begitu menurut mereka adalah harga minyak internasional, yang ditentukan para pialangn minyak di New York Merchantile Exchange. Padahal minyak tersebut hanya meliputi 30% tranksaksi minyak dunia. Artikel ini diambil dari Buku Awan Santosa S.E , M.Sc Sumber gambar : https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2017/03/24/825811/670x335/langkah-jokowi-cabut-subsidi-bbm-jadi-berkah-saat-harga-minyak-jatuh.jpg
Tidak ada komentar