Page Nav

HIDE

Ads Place

Syariat Islam dan Keteladanan

Syariat Islam dan Keteladanan Opini Syariat Islam dan Keteladanan BARU-BARU ini masyarakat Bireuen dihebohkan dengan beredarn...

Syariat Islam dan Keteladanan

Opini

Syariat Islam dan Keteladanan

BARU-BARU ini masyarakat Bireuen dihebohkan dengan beredarnya “selebaran” yang memuat beberapa poin terkait

Syariat Islam dan KeteladananRazia Warung Remang-remang

Oleh Khairil Miswar

BARU-BARU ini masyarakat Bireuen dihebohkan dengan beredarnya “selebaran” yang memuat beberapa poin terkait standarisasi café dan restoran sesuai syariat Islam. Selebaran yang ditandatangani oleh Bupati Bireuen itu telah melahirkan “polemik,” tidak hanya di Bireuen tetapi juga di seluruh Aceh. Bahkan informasi ini juga menjadi perbincangan di tingkat nasional. Dalam skala yang lebih luas, imbauan ini telah pula dirilis oleh beberapa medi a luar negeri.

Sampai saat ini, pro-kontra masih terus berlangsung dan membelah publik pada dua kutub berlawanan; menolak dan menerima. Sebagian masyarakat tampak sepakat dengan keseluruhan poin yang terdapat dalam imbauan tersebut. Sementara sebagian lainnya menolak, tepatnya mengkritisi beberapa poin yang dianggap janggal dan tidak rasional. Saya sendiri berada di pihak disebut terakhir.

Secara prinsip, kita sepakat bahwa imbauan tersebut dilatari oleh niat baik Bupati Bireuen, guna merealisasikan penerapan syariat Islam di wilayahnya. Apa yang dilakukan oleh Bupati Bireuen adalah tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Dalam konteks ini kita menyambut baik usaha tersebut dan bahkan memberikan apresiasi setinggi-tingginya, karena telah menggunakan kekuasannya untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar di kabupaten Bireuen.

Namun di balik itu, sebagai sebuah hasil pemikiran, seharusnya imbauan tersebut dilahirkan melalui proses kajian dan “uji akademik” , sehingga redaksi yang dihasilkan dalam imbauan ini tidak bias, multi-tafsir dan merugikan pihak tertentu, khususnya para pedagang dan perempuan yang menjadi “sasaran” langsung dari imbauan tersebut.

Sebagai contoh, poin yang mengimbau agar warung tutup pukul 24.00 WIB. Poin ini sulit dimengerti dan terlalu dipaksakan, sehingga jika diterapkan akan berdampak pada kerugian di pihak pedagang yang beroperasi 24 jam (siang-malam), seperti di Matangglumpangdua dan kota Bireuen. Sebagaimana diketahui, Bireuen sendiri adalah kota transit yang menjadi tempat singgah bus, minibus dan angkutan umum lintas Sumatera.

Seandainya imbauan ini nantinya diterapkan, tentu akan berkonsekuensi pada lumpuhnya perekonomian pengusaha warung di kabupaten Bireuen yang juga dikenal sebagai kota dagang. Jika ini terjadi, maka persoalan baru pun akan muncul. Dengan demikian, tidak selayaknya Pemkab Bireuen mengeluarkan aturan (sekarang masih imbauan) yang tampak bertubrukan dengan kondisi so sial ekonomi masyarakat setempat.

Jika alasannya untuk penertiban dan penegakan syariat Islam, maka harus ditempuh langkah-langkah yang elegan dan tidak melakukan generalisasi, sehingga menimbulkan kesan bahwa seluruh warung di Bireuen adalah tempat maksiat.

Pada prinsipnya kita tidak meremehkan, apalagi menolak penerapan standardisasi kafe dan warung sesuai syariat Islam selama aturan itu lahir dari hasil kajian yang mendalam dan holistik, bukan sekadar pencitraan politik yang bersembunyi di balik kesucian syariat Ilahi.

Keteladanan
Diakui atau tidak, sejak syariat Islam di Aceh diformalisasikan dan kendali penerapannya dipegang oleh negara pada 2001, yang menjadi objek utama masih tertumpu pada masyarakat lapisan bawah. Sementara di kalangan elite, khususnya dalam birokrasi pemerintahan, syariat sama sekali belum menemukan wujudnya. Sampai saat ini, belum ada satu pun institusi pemerintah di Aceh yang dapat disebut “sesuai syariat” -- sebuah frasa abst rak plus ambigu yang selalu diulang-ulang.

Halaman selanjutnya 12
Editor: bakri Sumber: Serambi Indonesia Ikuti kami di Sumber: Google News Islam Network: Koranmu Indonesia

Tidak ada komentar

Ads Place