Cerita Mantan Tahanan Politik Soal Peristiwa G30S 1965 Cerita Mantan Tahanan Politik Soal Peristiwa G30S 1965 ...
Cerita Mantan Tahanan Politik Soal Peristiwa G30S 1965 Reporter:
Ryan Dwiky Anggriawan
Editor:Ninis Chairunnisa
Senin, 1 Oktober 2018 15:18 WIB
Amarzan Ismail Hamid atau yang dikena l Amarzan Loebis menghadiri acara bulanan `Teras Budaya` yang digelar di gedung Tempo, Jakarta, 11 Desember 2015. Amarzan yang merupakan redaktur senior Tempo, puisi-puisinya menyebar di banyak penerbitan, yang sedang disiapkan menjadi kumpulan `Memilih Jalan ke Guci`. TEMPO/Wahyurizal Hermanuaji
TEMPO.CO, Jakarta - Amarzan Loebis adalah redaktur senior Tempo yang pernah menjadi tahanan politik di era presiden Soeharto. Ia ditahan saat usianya 27 tahun dan dilepaskan di usia 39 tahun.
"Sulit untuk melupakan bahwa Soeharto merampas usia produktif saya," kata dia di sebuah wawancara dengan Tempo Institute pada 2012.
Baca: Soeharto, Militer, dan Pembunuhan Massal Pasca G30S 1965
Amarzan ditahan saat ia bekerja sebagai wartawan di Harian Rakyat. Saat itu, ia juga anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. Dua lembaga ini saat itu berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Akibatnya, Amarzan ditangkap dan dibuang ke pulau Buru.
Bagi Amarzan, tahun 1965 adalah awal berkuasanya rezim yang sangat otoriter, tak percaya demokrasi, tak peduli hak asasi manusia, dan tak mau mendengar perbedaan pendapat. Ia mengatakan rezim Soeharto dapat menangkap siapa saja dengan alasan apa saja tanpa proses pengadilan.
"Buat saya rezim Soeharto ya rezim yang sangat dahsyat sekali, dimana kita mengenal sebuah pulau (Buru) yang digunakan sebagai penjara tanpa proses pengadilan," kata Amarzan.
Baca: Komunisme dan PKI: Yang Telah Mati, yang Terus Dipolitisasi
Adapun peristiwa G30S 1965, kata Amarzan, adalah peristiwa yang sangat dramatis dan katastropis. Akibatnya, tak seorangpun mengetahui secara lengkap apa yang sebenarnya terjadi dari peristiwa itu.
Menurut dia, masing-masing pihak hanya mengetahui sepotong kisah dan 32 tahun rezim Soeharto tidak memberi kesempatan untuk menyatukan potongan-potongan kisah itu menjadi lengkap. Apalagi, ia menuturkan, para pemega ng informasi sepotong itu banyak yang telah meninggal. "Jadinya keping yang tinggal jauh lebih sedikit daripada keping yang sudah hilang," ujarnya.
Amarzan berpesan hal yang terpenting untuk generasi sekarang adalah untuk tidak membuat penilaian hitam dan putih atas suatu pihak. "Misalnya Soekarno 100 persen bagus, Soeharto 100 persen jahat. Saya tidak setuju pada cara memandang seperti itu. Masing-masing ada positif negatifnya," kata dia.
Ketua Panitia Pengarah Simposium Nasional, Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, berbicara dalam acara Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, 18 April 2016. Simposium ini diadakan guna menemukan penyelesaian masalah Tragedi 1965. TEMPO/Aditia Noviansyah
Ia juga mengingatkan pada generasi sekarang untuk selalu bersikap kritis dan berlaku adil. Hal ini, kata ia, bisa dicapai dengan mempelajari sejarah dan membaca arah kekuasa an. Dua hal ini jika dapat dilakoni akan membuat generasi sekarang menuju arah yang bagus.
Meski pernah dibekap, Amarzan tak ingn mengutuki rezim yang telah memperlakukannya secara tak adil. Menurut dia, ia melakukan hal ini agar dirinya tetap lebih baik daripada mereka yang memperlakukan dirinya.
Baca: Kisah Jess Melvin Menelusuri Pembunuhan Massal Pasca G30S 1965
Lihat Juga
Terkait

Pertanyaan yang Belum Terjawab dalam Peristiwa G30S 1965
10 jam lalu
Jalan Panjang Mencari Keadilan Korban HAM Pasca G30S 1965
14 jam lalu
Pimpinan dan Kader Partai Berkarya Nobar Film G30SPKI
23 jam lalu
Gelar Aksi #MasihIngat, KontraS Desak Penuntasan Pelanggaran HAM
1 hari lalu
Soal Urusan Salat, Ma'ruf Amin Mengaku Pernah Kalah dari J okowi
2 jam lalu
G30S 1965, Belajar dari Pengalaman Sejarah (Bagian 4)
2 jam lalu
Emil Pastikan Bantuan Untuk Korban Gempa Sulawesi Tengah Tepat Sasaran
4 jam lalu
Pengungsi Akibat Gempa dan Tsunami Palu Lebih dari 48 ribu Jiwa
4 jam lalu
Pesawat Hercules Evakuasi Ribuan Korban Gempa Palu ke Makassar
3 jam lalu

Korban Gempa dan Tsunami Palu Menjarah Minimarket dan Toserba
8 jam lalu
Kotak dan Bilik Suara Pemilu 2019 Ditargetkan Selesai November
10 jam lalu Video
Warga Terobos Bandara Palu, Penerbangan Hercules Kembali Normal
1 jam lalu
Korban Gempa dan Tsunami Palu Mulai Dimakamkan Massal
2 jam lalu
G30S 1965, Belajar dari Pengalaman Sejarah (Bagian 4)
4 jam lalu
G30S 1965, Kesaksian Mantan Tahanan Politik (Bagian 3)
5 jam laluterpopuler
Pertanyaan yang Belum Terjawab dalam Peristiwa G30S 1965
< /li>Korban Jiwa Gempa dan Tsunami Palu Nyaris 1.000 Orang
Adik Yenny Wahid Mengaku Belum Tentu Pilih Jokowi
BNPB Sebut Ada Empat Lokasi di Sulawesi Tengah Alami Likuifaksi
Cerita Saksi Mata Ungkap Detik-detik Gempa dan Tsunami Palu

Setelah Tsunami Palu: Kehilangan 12 Keluarga sampai Penjarahan

Di Balik Ribut Pembagian Honor Siswa Penari Asian Games

Anies Baswedan Kebut Raperda Pesisir Pasca Cabut Izin Reklamasi

Adu Visi Misi Ekonomi Jokowi - Ma'ruf Amin Vs Prabowo - Sandiaga

Alasan Jokowi Percepat Pelantikan Gubernur Sumsel dan Kaltim
2 jam lalu
Zakat Fitrah dan Ember Jadi Kode Suap Gubernur Aceh Irwandi Yusuf
2 jam lalu
Cerita Petobo, Kampung yang Hilang Ditelan Lumpur Saat Gempa Palu
2 jam lalu
Kemendagri Bakal Bangun Posko Pelayanan di Palu dan Donggala
2 jam lalu

Ratu Tatu Minta Warga Banten Mendukung Ma'ruf Amin
3 jam lalu
Ajudan Bupati Bener Meriah Akui Serahkan Duit untuk Irwandi Yusuf
3 jam lalu
Gempa Palu, 2 Kelu rahan Ini Tertimbun Tanah Bak Ditelan Bumi
3 jam lalu
Korban Meninggal Gempa Donggala dan Tsunami Palu Jadi 844 Orang
3 jam lalu
Evakuasi Korban Gempa dan Tsunami Palu Terkendala Alat Berat
4 jam laluGempa Donggala dan 5 Lindu dengan Potensi Tsunami

Inilah lokasi gempa Donggala beskala 7,7 Skala Richter pada 28 September 2018 pukul 17.02 WIB dan 5 daerah lain yang berpotensi tsunami.
Sumber: Politik
Tidak ada komentar