Gambar: megakue.blogspot.com Wakil Ketua MPR Mahyudin mengatakan, setiap negara memiliki ciri-ciri sistem demokrasi tersendiri. Indon...
![]() |
Gambar: megakue.blogspot.com |
Wakil Ketua MPR Mahyudin mengatakan, setiap negara memiliki ciri-ciri sistem demokrasi tersendiri. Indonesia disebut menganut sistem Demokrasi Pancasila.
"Dalam sila ke-4 yang mengatur soal demokrasi kita," katanya dalam diskusi bertemakan “Demokrasi Ala Indonesia Minimalisir Pejabat Korupsi?' di Presroom, Komplek Parlemen, Kamis, (25/10).
Mahyudin mengatakan bahwa dari sistem inilah maka di Indonesia hadirkan lembaga-lembaga perwakilan seperti DPR.
“Dalam demokrasi, semua rakyat mempunyai hak yang sama sehingga Pemilu merupakan sarana yang bagus untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat,” katanya.
Meski demikian Mahyudin mengakui sistem demokrasi langsung lewat Pemilu dirasa tak optimal bila dalam masyarakat kondisi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan sangat memungkinkan terjadinya money politic.
"Money politic itu bisa berupa barang, bisa berupa uang," ujarnya.
Mahyudin menyebut, dari money politic yang terjadi akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak mempunyai kapasitas. Pemimpin yang terpilih lewat Pilkada adalah orang-orang yang cenderung punya modal.
"Yang bagus bisa kalah karena tak punya modal," ungkapnya.
Terpilihnya seseorang kepala daerah yang disponsori oleh seseorang, kelak, menurut Mahyudin akan menyebabkan kekuasaan yang ada akan tergadai. Dari sinilah membuat banyak kepala daerah kena OTT KPK.
"Saya harap Cirebon menjadi kepala daerah terakhir yang ditangkap KPK," katanya.
Dengan kejadian yang berulangkali kepala daerah kena OTT KPK, kata Mahyudin telah membuktikan bahwa mahar politik memang susah namun praktek semacam itu ada. Banyak orang yang mengaku diminta uang mahar atau uang perahu saat maju dalam Pilkada.
Menghadapi yang demikian, pria asal Kalimantan itu menyarankan agar pemilihan kepala daerah diserahkan ke DPRD. Hal demikian pernah terjadi di masa Orde Baru namun diakuinya pada masa itu ada kerancuan sebab ada unsur eksekutif di DPRD.
"Pada masa itu ada Fraksi ABRI (TNI/Polri)," katanya.
Untuk itu lanjutnya, dalam era reformasi di mana kondisi DPRD lebih bagus, tak ada unsur eksekutif, pemilihan kepala daerah sebaiknya dikembalikan ke DPRD lagi. Karena tak ada jaminan pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD bebas money politic, namun kembali ke DPRD akan lebih memudahkan pengawasan.
"Pilkada lewat DPRD itu justru bisa saja nanti anggotanya memungkinkan langsung diawasi oleh KPK," tegasnya.
Mahyudin juga menyarankan untuk menghilangkan money politic, biaya operasional partai dan saat Pemilu ditanggung oleh negara.
“Ini penting agar partai dan politisi tak terbebani masalah keuangan,” katanya.
https://www.gatra.com/rubrik/mpr-update/359025-Mahyudin
"Dalam sila ke-4 yang mengatur soal demokrasi kita," katanya dalam diskusi bertemakan “Demokrasi Ala Indonesia Minimalisir Pejabat Korupsi?' di Presroom, Komplek Parlemen, Kamis, (25/10).
Mahyudin mengatakan bahwa dari sistem inilah maka di Indonesia hadirkan lembaga-lembaga perwakilan seperti DPR.
“Dalam demokrasi, semua rakyat mempunyai hak yang sama sehingga Pemilu merupakan sarana yang bagus untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat,” katanya.
Meski demikian Mahyudin mengakui sistem demokrasi langsung lewat Pemilu dirasa tak optimal bila dalam masyarakat kondisi ekonomi, politik, sosial, budaya, dan pendidikan sangat memungkinkan terjadinya money politic.
"Money politic itu bisa berupa barang, bisa berupa uang," ujarnya.
Mahyudin menyebut, dari money politic yang terjadi akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak mempunyai kapasitas. Pemimpin yang terpilih lewat Pilkada adalah orang-orang yang cenderung punya modal.
"Yang bagus bisa kalah karena tak punya modal," ungkapnya.
Terpilihnya seseorang kepala daerah yang disponsori oleh seseorang, kelak, menurut Mahyudin akan menyebabkan kekuasaan yang ada akan tergadai. Dari sinilah membuat banyak kepala daerah kena OTT KPK.
"Saya harap Cirebon menjadi kepala daerah terakhir yang ditangkap KPK," katanya.
Dengan kejadian yang berulangkali kepala daerah kena OTT KPK, kata Mahyudin telah membuktikan bahwa mahar politik memang susah namun praktek semacam itu ada. Banyak orang yang mengaku diminta uang mahar atau uang perahu saat maju dalam Pilkada.
Menghadapi yang demikian, pria asal Kalimantan itu menyarankan agar pemilihan kepala daerah diserahkan ke DPRD. Hal demikian pernah terjadi di masa Orde Baru namun diakuinya pada masa itu ada kerancuan sebab ada unsur eksekutif di DPRD.
"Pada masa itu ada Fraksi ABRI (TNI/Polri)," katanya.
Untuk itu lanjutnya, dalam era reformasi di mana kondisi DPRD lebih bagus, tak ada unsur eksekutif, pemilihan kepala daerah sebaiknya dikembalikan ke DPRD lagi. Karena tak ada jaminan pemilihan kepala daerah kembali ke DPRD bebas money politic, namun kembali ke DPRD akan lebih memudahkan pengawasan.
"Pilkada lewat DPRD itu justru bisa saja nanti anggotanya memungkinkan langsung diawasi oleh KPK," tegasnya.
Mahyudin juga menyarankan untuk menghilangkan money politic, biaya operasional partai dan saat Pemilu ditanggung oleh negara.
“Ini penting agar partai dan politisi tak terbebani masalah keuangan,” katanya.
https://www.gatra.com/rubrik/mpr-update/359025-Mahyudin
Tidak ada komentar