Page Nav

HIDE

Update

latest

Politik Identitas Bisa Memicu Praktik Intoleransi di Masyarakat

Gambar: kantorberitapemilu.com Politik identitas yang sering digunakan dalam kontestasi politik elektoral beberapa tahun terakhir b...

Gambar: kantorberitapemilu.com


Politik identitas yang sering digunakan dalam kontestasi politik elektoral beberapa tahun terakhir berpotensi akan semakin massif jika tak ditangani sejak dini. Boleh jadi, perilaku ini menular bahkan sampai tingkat elektoral terkecil seperti pemilihan RT atau RW. Padahal politik identitas ini bisa memicu praktik intoleransi di masyarakat.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cahyo Pamungkas menyebut, Indonesia yang punya daerah luas dengan penduduknya yang beragam dari Indonesia bagian barat hingga timur bisa terjangkit oleh perilaku ini. Sehingga berpotensi menimbulkan kesenjangan antara minoritas dengan mayoritas.

"Jadi akan semakin mengganggu semangat kebangsaan dan kebhinekaan. Khawatir akan digunakan di daerah luar Jawa misalnya, karena kan mereka meniru apa yang dilakukan di Jakarta. Terus terang apa yang dilakukan di Jakarta adalah politik identitas," kata Cahyo kepada Pikiran Rakyat usai memaparkan penelitiannya tentang "Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia" yang digelar di LIPI, Selasa 4 Desember 2018.

Penelitian yang dilakukan Cahyo bersama timnya yang tergabung dalam Satuan Kerja Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, memang mengulas tentang meningkatnya intoleransi dan radikalisme berbasis keagamaan serta etnisitas baik yang terjadi di dunia nyata dan maya. Dengan merangkul 200 responden di masing-masing provinsi yang diteliti yakni Aceh, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan ditemukan kalau intoleransi politik lebih tinggi dibanding intoleransi sosial.

"Hal tersebut merupakan implikasi dari penggunaan politik identitas yang masif dalam Pilkada serentak 2018 dan Pilkada pada tahun 2017 untuk kasus DKI," kata dia.

Untuk di Jawa Barat, peneliti juga menemukan fenomena khusus yakni masih adanya pengaruh Darul Islam yang tertanam dalam kesadaran Gerakan Islam di Jawa Barat. Seperti diketahui, gerakan yang dipelopori oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo ini memang dimulai di Jawa Barat pada 7 Agustus 1949 tepatnya di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa Barat.

"Mereka kan tidak hilang. DI/TII dibubarkan tapi cara berpikirnya masih diwariskan kepada generasi muda. Memang tidak mutlak ya keturunan mereka menolak sistem politik, karena ada juga yang bergabung pada sistem demokrasi. Jadi mungkin salah satu caranya (meredam hal ini) adalah dengan pragmatisme mengajak mereka berpartisipasi dalam demokrasi yang akan memoderatkan pandangan mereka," kata Cahyo.

Meski demikian, warisan pemikiran lama juga tak melulu jadi pemicu. Karena di era revolusi digital seperti ini, pengaruh paham transnasional menjadi pemicu baru. Paham-paham ini, diakui atau tidak ikut berperan dalam membangun ekosistem menjadi lebih intoleran.

"Gerakan ini sulit dikendalikan. Teknologi menyediakan informasi gagasan transnasional. Sekarang lebih massif memang. Dulu mungkin cuma satu orang yang belajar ke luar negeri, sekarang lewat whatsapp dan youtube semua bisa belajar," ujar dia.

Hal ini juga berkelindan dengan penelitiannya yang menyebut bahwa media sosial memiliki peran yang penting dalam mendorong seseorang untuk bersikap intoleran. Berdasarkan penelitiannya, media sosial digunakan oleh orang yang memiliki tingkat fanatisme tinggi, dukungan terhadap sekularisasi yang rendah, spiritualitas keagamaan yang rendah, perasaan terancam dan ketidakpercayaan pada kelompok lain yang tinggi akan mendorong orang dengan identitas agama dan etnis yang kuat bertindak intoleran dan radikal.

"Fenomena intoleransi politik baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di media sosial sudah mencapai ambang batas yang tidak dapat diterima oleh publik," ucap dia.
Langkah Pemerintah

Untuk membendung pengaruh buruk ini hendaknya pemerintah mengarusutamakan agama yang moderat dan toleran. Meski demikian, hal ini tak bisa dilakukan secara terbuka karena Indonesia adalah negara yang demokrasi. Pelarangan kelompok tertentu akan menimbulkan kritikan dari kelompok liberal, sementara kelompok konservatif memang menunggangi kebebasan di alam demokrasi ini.

"Jadi harus perlahan. Kuncinya ada di pemerintah daerah misalnya dengan memberi panggung pemuka agama yang moderat. Selain itu juga perlu penguatan organisasi agama yang sudah ada lebih dulu. Jangan sampai NU dan Muhammadiyah misalnya ikut mobilisasi ke atas, nama masjid di kampungnya kosong dan diambil alih oleh pemahaman lain," ucap dia.

Sementara itu, Kepala LIPI Laksana Tri Handoko menyebut penelitian ini merupakan isu aktual. Fenomena intoleransi nyata adanya, meski tidak selalu terlihat sehari-hari tapi di dunia virtual sangat nyata. Hal ini justru menimbulkan dampak yang sangat nyata walaupun awalnya berangkat dari barang virtual.

"Perbedaan antar kelompok ini bisa jadi konflik karena adanya relasi mayoritas dan minoritas apakah agama, ras ditambah stereotip negatif dan kesenjangan ekonomi yang rill. Mayoritas merasa terancam oleh minoritas. Apalagi ditambah saat ini sebagai media dimungkinkan ujaran yang memicu," kata Tri.

Dalam seminar yang juga dihadiri oleh Aris Arif Mundayat dari UNHAN dan Adlin Sila dari Balitbang Kemenang ini, Laksana menyebut revolusi digital di samping punya dampak positif ternyata memiliki juga dampak negatif yang sangat signifikan apalagi di era post-truth society ketika kebenaran tak berarti tunggal. "Itulah yang disebabkan oleh revolusi digital yang harus kita pelajari, antisipasi. Mereka memilih informasi yang dia sukai. Tak heran kalau ada yang fanatik di satu kelompok. Jadi bagaimana penelitian ini menyusun strategi yang membentuk narasi positif untuk men-counter hal itu dan bagaimana bisa sampai ke orang yang ada di tempat itu," kata dia.

Sumber: http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2018/12/04/politik-identitas-rawan-berujung-praktik-intoleransi-434032

Tidak ada komentar