Acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Di TV One membahas tentang hoax, Selasa (26/3/2019). Terjadi debat panas antara Rocky Gerung den...
Acara Indonesia Lawyers Club (ILC) Di TV One membahas tentang hoax, Selasa (26/3/2019).
Terjadi debat panas antara Rocky Gerung dengan Rhenald Kasali dalam mendefinisikan makna Hoax, selain itu juga mencari asal usul hoax.
Debat ILC yang mengambil tema 'Tepatkah Hoax Dibasmi UU Anti Terorisme'?
Debat LC berlangsung panas ketika Rocky Gerung dan Rhenald Kasali saling berbantahan tentang hoax.
Pada Kesempatan itu, Rocky Gerung membantah penjelasan Rhenald Kasali tentang makna hoax.
Menurut Rocky Gerung bahwa keterangan Rhenald Kasali tentang hoax harus diterangkan dulu sebab itu bisa salah sarah apa yang disampaikan Rhenald Kasali.
Rocky mengatakan karena Rhenald Kasali sebut tadi hoax itu dalam ilmu pengetahuan adalah jahat.
Maka Rocky Gerung menjelaskan asal usul hoax itu pertama kali muncul di ilmu pengetahun ketika profesor fisika Alan Sokal menulis sebuah artikel di majalah sosial text dengan nama samaran lalu dipuji redaktur tanpa tau itu adalah bohong.
Rocky Menjelaskan, jadi fungsi hoax Alan Sokal itu adalah untuk menguji redaktur dari majalah bergengsi apakah redaktur itu punya otak atau tidak. Ternyata tidak punya otak.
"Maka hal yang sama kita ajukan ujian pada kekuasaan, lalu kekuasaan beraksi artinya kekuasaan tidak berpikir." kata Rocky Gerung
"Lalu ketika anda (Rhenal Kasali) mengatakan hoax itu adalah kekuatan iblis, lalu yang menjanjikan 50 juta untuk warga lombok itu presiden atau iblis," Sambung Rocky Gerung
Pernyataan Rocky Gerung ini lantas di bantah Rhenald Kasali.
Rhenald Kasali menjelaskan satu refrensi itu tidak cukup satu, Rocky Gerung harus banyak membaca buku, Rocky Gerung harus membaca banyak referensi, dengan referensi tunggal itulah maka hasilnya begini.
Lantas Rhenald Kasali mengatakan hoax asal kata Hocus artinya adalah mengelabui, ada kisah tukang sulap yang tujuannya adalah untuk mengelabui mata orang lain.
Menurut Rhenald Kasali hari ini bukan orang dungu yang di kelabui, orang pintar saja orang beragama saja dikelabui.
"saya kira referensi harus dikembangkan, kalau hanya satu referensi memang jadi bahaya," ujar Rhenald Kasali.
Sebelumnya Tema kasus yang diangkat ILC bermula dari pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menpo Polhukam) Wiranto.
Wiranto, dalam pernyataannya, meminta aparat penegak hukum menindak tegas penyebar hoaks.
Penyebar hoaks, kata Wiranto, sama dengan pelaku terorisme karena sudah menimbulkan ketakutan, walau bukan teror secara fisik, melainkan non-fisik.
"Terorisme itu kan menimbulkan ketakutan di masyarakat," ujar Wiranto di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu (20/3/2019).
Masyarakat yang diancam dengan hoaks untuk tidak menggunakan hak suaranya ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), menurut Wiranto, sudah bentuk ancaman terorisme.
Ia pun mewacanakan agar pelaku penyebar hoaks dijerat Undang-undang Terorisme.
"Masyarakat diancam dengan hoaks untuk kemudian mereka takut ke TPS. Itu sudah ancaman, terorisme. Maka tentu kita gunakan Undang-undang Terorisme," kata Wiranto.
Wiranto menyampaikan, Kemenko Polhukam punya target untuk menjamin pelaksanaan pemilu aman dan lancar.
Jika ada pihak-pihak yang ingin mengacaukannya, maka ia tidak akan sungkan meminta proses pidana dilakukan.
"Jadi saya justru mengutuk, katakanlah orang-orang yang ingin mengacaukan proses demokrasi. Milik kita ini loh. Kebanggaan bangsa kok dikacau, ini kadang-kadang, saya geram juga," cetus Wiranto.
Sebelumnya, Wiranto juga menyebut hoaks alias berita bohong merupakan teror pemilihan umum serentak 2019.
Saat ini, ucap Wiranto, hoaks begitu marak menyebar ke masyarakat. Hoaks, katanya, menjadi ancaman baru pada Pemilu 2019.
Sebab, dalam penyelenggaraan pesta demokrasi sebelumnya, hoaks belum semasif saat ini.
"Artinya berita palsu, berita buatan, berita bohong yang dilansir ke publik, yang mengganggu publik, saya rasa itu merupakan teror, karena meneror, mengganggu psikologi masyarakyat," ujar Wiranto.
Wiranto menyebut berita bohong merupakan teror.
Ia menilai berita bohong memunculkan kerusuhan di masyarakat, seolah-olah pemilu tidak aman.
"Ini isu. Tidak ada fakta. Oleh karena itu kita hadapi sebagai teror. Segera kita atasi dengan cara tegas dan keras," tegas Wiranto.
Pernyataan Wiranto ini pun menuai respons beragam dari berbagai kalangan, termasuk dari Mabes Polri.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan, penyebar berita bohong atau hoaks dapat dijerat dengan UU Terorisme jika orang tersebut merupakan bagian dari jaringan terorisme.
Kendati demikian, hal itu tergantung dari fakta hukum yang ditemukan penyidik.
"Iya seperti itu, tapi sangat tergantung kontruksi dan fakta hukum oleh penyidik," kata Dedi di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (21/3/2019).
Menurut Dedi, jika pelaku menimbulkan rasa teror, ia dapat disangkakan Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan atas UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU.
Namun, penyidik perlu mendalami latar belakang, unsur kesengajaan, hingga meminta pendapat para saksi ahli untuk menetapkan pasal yang disangkakan.
"Tentu intimidasi psikologis itu bisa dikenakan juga Pasal 6 UU Nomor 5 Tahun 2018 apabila pelakunya memiliki jaringan atau masuk ke dalam satu jaringan terorisme," ungkapnya, dikutip dari Kompas.com.
Akan tetapi, jika pelaku merupakan masyarakat biasa, akan dijerat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
Dedi juga mengatakan, dalam konteks pemilu, pemegang kendalinya adalah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Jika yang melakukan pelanggaran pemilu adalah anggota timses, Bawaslu akan memprosesnya. Namun, ketika yang melakukan pelanggaran merupakan rakyat biasa, kasusnya akan dilimpahkan kepada kepolisian.
Dedi pun kembali mengungkapkan bahwa pasal yang disangkakan akan tergantung pada fakta yang ada.
"Kita juga tidak mudah dan secara gampang menerapkan pasal-pasal terhadap seseorang. Perlu kita melakukan satu kajian dulu," tutur dia.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyebut, wacana Menkopolhukam Wiranto menjerat pembuat dan penyebar hoaks dengan Undang-undang terorisme sangatlah ngawur.
Buka suara soal Andi Arief, Fadli Zon yakin kasus Wasekjen Demokrat tersebut tak akan mempengaruhi elektabilitas Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Menurut Fadli, seharusnya Wiranto diberi sanksi karena melontarkan wacana tersebut.
"Saya kira ini pernyataan sangat Ngawur, dan pernyataan ngawur seperti ini seharusnya diberikan sanksi karena tidak boleh seorang pejabat pemerintah apalagi Kemenkopolhukam bicara tidak berdasarkan aturan," kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (21/3/2019)
Menurut Wakil Ketua Umum Gerindra itu, terorisme memiliki definisi sendiri yang berbeda dengan hoaks sehingga tidak ada hubungannya aksi terorisme dengan penyebaran hoaks.
"Jadi menurut saya ini pernyataan benar-benar super ngawur. segera harus dicabut, dan saya kira saya enggak tahu maksud di belakangnya apa. Apakah ini memang sedang mabuk atau apa?" katanya.
Ia mengatakan, tidak ada alasan dan dasar aturan, penyebar hoaks dijerat dengan undang-undang terorisme.
Sumber: http://jambi.tribunnews.com/2019/03/27/debat-panas-rocky-gerung-vs-rhenald-kasali-soal-hoax-di-ilc-saling-bantah-edisi-senin-26-maret
Tidak ada komentar