Page Nav

HIDE

Update

latest

Hikayat Negeri Jajahan

Hikayat Negeri Jajahan Meski bukunya kini entah di mana, tapi saya tak bisa lupa, bacaan masa awal mahasiswa tentang memuat penuturan me...

Hikayat Negeri Jajahan

Hantu Bernama PKI bisa tumbuh kembali kapan saja 
Hantu Bernama PKI bisa tumbuh kembali kapan saja

Meski bukunya kini entah di mana, tapi saya tak bisa lupa, bacaan masa awal mahasiswa tentang memuat penuturan menyentak seorang Tan Malaka yang kembali ke Indonesia setelah tahunan menjadi pelarian. Salah seorang pendiri Republik Indonesia itu kesulitan menemukan buku-buku yang hendak dijadikannya referensi untuk buku yang ditulisnya. Tan menyimpulkan, begitu lah nasib menjadi koloni Belanda, yang memang tak memberi ruang bagi rakyat jajahannya menjadi pintar.

Konon, ada tiga kelas dalam praktik kolonialisme. Pertama penjajahan ala inggris yang menghisap sekedarnya dan mencerdaskan negeri jajahan sehingga bisa dijadikan mitra. Kedua, penjajahan model Belanda yang menghisap sejadi-jadinya serta menghalangi rakyat terjajah jadi manusia merdeka. Tipe ketiga adalah Portugis, mengangkut apa saja yg tersedia, tak peduli negeri jajahannya bakal binasa.

Pendekatan Belanda pada Hindia Belanda, tentu juga potret di negerinya sendiri, baik dalam aspek budaya, ekonomi dan politik. Kejatuhan VOC misalnya, selain disebabkan perang berkepanjangan di tanah Jawa, juga karena korupsi yang menggerogotinya. VOC pula sebenarnya, yang membumbui feodalisme timur kita dengan watak koruptif yang mendarah daging hingga kini. Bukti lainnya, menjelang invasi Nazi dalam Perang Dunia II, terdapat lusinan partai politik dalam sistem multi-partai Belanda. Hingga, negeri kecil yang sibuk memperdebatkan hal remeh temeh itu digulung Hitler dalam tempo lima hari saja. Sejarah juga mencatat, saat dikuasai Nazi, Belanda paling kolaboratif dalam menampung pemindahan kamp konsentrasi Yahudi.

Meski telah 72 tahun memproklamirkan kemerdekaan, sejatinya cita rasa bekas koloni Belanda masih terasa di Indonesia. Mental inlander, watak koruptif dan mental feodal penyelenggara negara, dan rendahnya etos kerja, merupakan contoh peninggalan kolonialisme. Parahnya, warisan tersebut berkelindan dengan bentuk baru imperialisme, hingga sebagian anak bangsa justru rebutan menjadi "kepanjangan tangan" alias proxy nya kaum imperialis.

Ya, imperialisme itu masih berlangsung, meski tak lagi di bawah kokangan senjata. Buktinya? Tak perlu berdebat panjang soal intervensi politik kebijakan dan regulasi, tekanan ekonomi, dan jerat hutang, karena tanda paling sederhana sebuah negeri terjajah pun masih nyata. Hingga kini, kekayaan alam kita terus dieksploitasi murah meriah, sentra industri dan perkebunan masih mempraktekkan upah murah, dan pasar kita jadi arena serbuan produk industri negara lain.

Sementara kita terus saja menyibukkan diri dengan perdebatan yang entah di mana mulai dan kesudahannya, di belakang panggung, para kapitalis barat dan timur kian leluasa mengkapling harta rakyat yang tersisa. Oposisi yang risih mengkritik dengan akurasi data capaian kinerja, sebangun dengan kegemaran rezim berkuasa yang klaimnya terkadang jauh dari realita. Berulang dan terus berulang, meski rezim nya terus berganti, seleranya tetap sama.

Tengok lah panggung politik Indonesia kini, dimana selalu subjektivitas yang mengemuka. Mimbar politik abai pada ide dan gagasan berkualitas. Menariknya pula, kebisingan itu selalu dibuntuti kerumunan, suporter fanatis yang tak mau kritis. Lalu bak pelatih sepakbola, bos-bos imperialis itu hanya perlu sesekali memberi instruksi, dan menjelang habis musim kompetisi menyusun laporan untuk big bos free-market capitalisme atau komandan utama state-capitalisme nya.

Tak sadar kah kita? Ah, jangan-jangan, negeri ini hanya sekedar jadi battle field!!

Penulis:  Ton Abdillah, Mantan  Ketua Umum DPP IMM

Tidak ada komentar