Page Nav

HIDE

Update

latest

Sosok Buya Hamka Di mata pengagumnya

Hamka, singkatan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (17/2/1908-24/7/1981) jelas adalah pribadi sangat kompleks. Ia bukan hanya sekedar warta...


Hamka, singkatan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (17/2/1908-24/7/1981) jelas adalah pribadi sangat kompleks. Ia bukan hanya sekedar wartawan penulis dan editor, tetapi juga adalah sastrawan prolifik dan sekaligus sejarawan dan ulama terkemuka. Tak kurang pentingnya, Buya Hamka adalah ulama/intelektual-cum-aktivis sosial-budaya dan agama –intelektual organik-- yang melalui pengalaman langsung, observasi, dan aktivisme menuliskannya dalam karya tulis reflektif yang tajam dan menggigit dengan bahasa Indonesia yang khas. hal ini di ungkap oleh Prof. DR. Azyumardi Azra, CBE: dalam acara   Seminar Internasional “Membedah Adicerita Buya Hamka: HAMKA’S GREAT STORY a Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia” yang dilaksanakan di Aula Fakultas Ekonomi dan Bisnis  UHAMKA jakarta Timur , Rabu  ( 22/11) yang diadakan oleh Pusat Study Buya Hamka

Iya melanjutakan bahwa Buku Hamka’s Great Story: A Master Writer’s Vision of Islam for Modern Indonesia karya James R. Rush merupakan karya serius guru besar sejarah Arizona State University (ide penelitian sejak 1981 dan diselesaikan pada tahun 2016). Edisi Inggris diterbitkan Wisconcin University, 2016 dan Edisi Indonesia oleh Gramedia, 2017). Dengan karya ini, pembaca dan pengkaji Islam Indonesia dapat melihat posisi Buya Hamka secara lebih jelas dan tegas. Seperti dibahas Rush dalam buku ini, sosok Buya Hamka sulit dirumuskan orang karena kompleksitas pemikiran dan kiprahnya.

Karya James Rush ini merupakan karya unik jika dibandingkan dengan banyak karya lain tentang Buya Hamka. Karya ini tak lain merupakan biografi sosial-intelektual Buya Hamka berdasarkan tulisan-tulisan Buya Hamka sendiri, yang kemudian sedikit banyak diuji dan dianalisis Rush. Meski demikian, Rush berhasil menggambarkan sosok Buya Hamka secara relatif lengkap dan komprehensif.

Sedangkan bagi Rush lebih maju lagi, Hamka adalah pengarang, pemikir bebas, sastrawan dan mufasir [penafsir al-Qur’an]. Lebih jauh menurut Rush, sebagai pengarang, mufasir, pemikir dan sastrawan, Hamka punya nilai lebih dibandingkan dengan para penulis lain. “Jika Hamka memasuki sebuah ranah pemikiran, dia akan terjun ke dalamnya dengan berani dan sepenuh hati. Hamka bukanlah jenis manusia kepalang tanggung”. Hamka melampaui pengembaraan intelektual ayahnya (Haji Rasul/ DR. Haji Abdul Karim Amrullah) yang tidak hanya mengakrabi sejarah dan pemikiran Islam Indonesia dan Dunia Arab, tetapi juga Eropa dan Amerika.

Rush membagi bukunya secara cukup sederhana—hanya enam bab: pertama, Pedoman Masyarakat; kedua, Ayah dan Anak; ketiga, Hamka-san dan Bung Haji; keempat, Islam untuk Indonesia; kelima, Perang Budaya; dan keenam, Orde Baru. Dengan pembaban sederhana seperti itu, James Rush membangun naratif Hamka sebagai sosok intelektual dan aktivis yang membangun karir intelektualisme secara otodidak. Dengan kefasihannya bertutur baik secara lisan maupun tulisan, Hamka di atas segalanya akhirnya tampil sebagai sosok ‘intelektual publik’ yang penting dalam wacana keislaman dan keindonesiaan di masa pasca-kemerdekaan.
Hamka dengan sosok intelektual dan aktivisme telah meninggalkan adicerita (great story) yang direkonstruksi dengan sangat baik oleh James Rush. Karena itu Profesor A. Syafii Maarif dalam pengantarnya untuk buku ini menegaskan, karya Rush ini perlu dikaji secara khusus oleh para ahli.

Di mana terletak adicerita Hamka yang tercakup dalam judul buku ini? Rush menjelaskan, Hamka yang banyak bicara, banyak berpendapat, serta perasa mendapat banyak pembaca [dan pengikut]. Meskipun gaya tulisannya menghibur dan populer, dia membahas perkara-perkara serius. Pembaca [dan mereka yang menyenanginya] bertanya kepada dia, meminta bimbingan dalam hal-hal penting dalam kehidupan mereka. Menurut Rush, memang bagi jutaan Muslim Indonesia, Hamka menjadi juru cerita utama generasi mereka; pencipta narasi besar atau adicerita (great story) yang menurut Robert Berkhofer menata masa lalu, menafsir masa kini, dan memperkirakan masa depan.

Menurut Rush, dalam suatu adicerita, yang penting bukan hanya tema-tema besar—seperti soal Nabi Muhammad, Tauhid, Rukun Islam, Qur’an dan Hadits, dan juga Indonesia—tapi juga hal-hal kecil. Yang terakhir ini misalnya tentang kisah penjahat dan pahlawan, pepatah, kiasan, sejarah lokal, gosip dan lelucon yang bisa menghibur dan sekaligus menyakitkan.

Dalam kerangka itu, adicerita Hamka memberikan banyak jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar semacam: Bagaimana saya harus hidup? Apa artinya menjadi Muslim? Apa artinya menjadi Indonesia? Tapi Hamka tidak berhenti sampai di situ; dia juga memberikan banyak jawaban atas pertanyaan yang bagi sebagai orang mungkin ‘remeh temeh’ semacam ‘bolehkah makan margarin?’.

Memperjelas lebih jauh tentang adicerita, Buya Syafii mengutip edisi Inggris  paragraf terakhir Rush: “Di sinilah terletak kisah besar [adicerita]nya hari ini, sambil membingkai masa lampau dan masa kini bagi jutaan manusia yang, tanpa mengenali suara Hamka yang membentuknya (Hamka’s formative voice), meliputi rasa percaya dirinya yang luar biasa pada kekuatan manusia; kepercayaannya pada Islam sebagai agama pembebas dan impiannya untuk mengisi kehidupan Indonesia moderen dan bangsa dengan kearifan dan kebenarannya”.

James Rush mencatat, Hamka telah memberikan “kepada kami, para peneliti Indonesia, barang langka yang mungkin unik; riwayat hidup penuh karya tulis, serta sudut pandang dan pengaruh pentingnya sebagai cendekiawan Muslim pada masa pembentukan negara [Indonesia]. Meresapi adicerita Hamka berarti memasuki wacana yang didalami satu bagian besar masyarakat Indonesia moderen”.

Atas dasar bacaannya yang akurat tentang sejarah, Hamka menolak ‘negara Islam’ dan/atau khilafah. Sistem politik yang diadopsi para pendiri bangsa sudah tepat. Hamka menjelaskan adopsi demokrasi sudah tepat pula karena demokrasi kita [Indonesia] juga punya akar dalam Islam. Rush mengutip Hamka yang menyatakan: “Berabad-abad lalu Nabi Muhammad menunjukkan caranya. Dia dan para sahabat mempraktekkan satu bentuk demokrasi, di mana keputusan-keputusan penting dibuat dengan musyawarah (syura). Selain itu, nilai-nilai moderen demokrasi sudah ada dalam al-Qur’an dan hadits. Nilai-nilai itu mencakup kesetaraan semua manusia di mata Allah, kebebasan dari tirani, kebebasan berpikir dan berbicara, dan keadilan sosial. Nabi Muhammad sendiri tidak menetapkan bentuk pemerintahan tertentu, termasuk khilafah”.

Hamka tidak pernah berhenti mencintai Indonesia. Dia dengan tegas menyatakan: “Saya akan jadi Hamka dari Indonesia”; bukan dari tempat-tempat lain di Dunia Muslim di luar Indonesia. Dengan begitu Hamka menolak transnasionalisme dalam berbagai bentuknya.


DR. Asvi Warman Adam:

Buku Hamka’s Great Story merupakan kisah kehidupan Hamka yang beragam penuh warna-warni yang dituliskan Rush sebagai “Biografi Hamka Zaman Now”. Berbeda dengan buku Audrey R Kahin, “Islam, Nationalism and Democracy: A Political Biography of Mohammad Natsir” (NUS, 2012) yang kelihatan “kaku dan serius banget”, maka buku James Rush yang sebelumnya pernah menulis buku Opium di Jawa, terkesan mengalir dengan enak dengan memanfaatkan karya sastra, tulisan tasawuf, buku kenangan, kliping koran serta wawancara. James R Rush menyebutnya sebagai adicerita (great stories) atau metanarasi. Yang digambarkan adalah konteks, makna dan tujuan hidup itu sendiri. Adicerita Hamka adalah Islam dalam Keindonesiaan. Targetnya bukan Negara Islam tetapi Masyarakat Muslim.

Sebagai sastrawan Hamka mampu menulis karya yang indah, mengharukan, membawa amanat dan menimbulkan inspirasi serta sangat banyak dibaca. Kisah cinta Zainuddin dan Hayati dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijk tak akan dilupakan para pembacanya. Zainuddin adalah tokoh ciptaan Hamka yang menggambarkan “Indonesia” sejati masa itu, menemukan arti hidup dan keberhasilan di kota-kota multietnis yang tumbuh di negeri jajahan terutama Surabaya, demikian tulis Rush. Zainuddin dan Hayati serta teman-teman mereka adalah pemuda-pemudi modern yang bergulat dengan kebebasan baru dalam hidup di luar desa. Dalam novel-novelnya Hamka menegaskan pola lalu lintas yang membentang di Hindia Belanda, ia mengingatkan pembaca akan keluasan dan keragaman Indonesia: “negara kita—Tanah Air kita”. Latar ceritanya dikenal para pembaca, pertemuan Zainuddin dan Hayati yang seiring bunyi bedug dan suara azan di kampung.

Apakah Hamka seorang penakut atau pemberani ? Kisah ini bukan epos kepahlawanan yang penuh heroik, tetapi juga menggambarkan kelemahan manusia dan Hamka mengakui hal ini. Hamka memilih berkolaborasi dengan Jepang seperti halnya beberapa pemimpin nasional lainnya. Tetapi suasana di Medan tentu tidak persis sama dengan di ibukota Jakarta. Ketika Jepang menyerah kalah tahun 1945, berita ini disambut dengan gembira, tetapi juga ketakutan bagi Hamka. Ia kuatir para pemuda yang menuduhnya berkhianat kepada bangsa dengan bekerjasama dengan Jepang akan membunuhnya. Hamka dengan sebuah mobil membawa keluarganya meninggalkan Sumatera Timur pulang ke kampung halamannya di Maninjau. Hamka juga mengakui ia tidak seberani Kasman Singodimedjo yang meskin ditekan tetap tidak mengakui hal yang tidak dilakukannya pada tahun 1964 yaitu melakukan rapat rahasia untuk makar. Hamka setelah satu setengah bulan diinterogasi, akhirnya melemah dan terpaksa mengarang cerita. Namun di sisi lain, ketika masa Orde Baru  ia memimpin MUI ia tidak mau didikte oleh penguasa. Ia memilih mengundurkan diri dari jabatan tersebut. Hamka menolak ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia untuk Saudi Arabia. 

Buku ini juga mengangkat masalah keluarga Hamka dengan menguraikan hubungan Hamka dengan ayahnya Haji Rasul. Haji Rasul menikah sampai 10 kali, beberapa istrinya diceraikan kemudian termasuk ibu Hamka. Hamka lebih sering bersama ibunya, tetapi ketika terjadi perceraian karena keinginan untuk melanjutkan studi, Hamka memilih tinggal bersama ayahnya. Faktor keluarga ini mempengaruhi formasi kehidupan Hamka di masa depan di samping hubungan antara adat dengan agama di Minangkabau.

James Rush memiliki tradisi Barat yang tidak mengenal tabu dalam menulis biografi. Hamka menuturkan sewaktu berumur 17 tahun dan sedang penuh gairah masa muda dia mulai bermimpi bersetubuh. Suatu malam di Yogyakarta, dalam mimpi itu, ketika akan bersetubuh ia melihat kemaluan perempuan yang bergigi. Hamka merasa “kalau aku masukkan alat kelaminku ke dalam, tentu alat kemaluanku akan putus digigitnya. Aku pun tersentak bangun”. Mimpi menjadi peringatan bagi Hamka untuk tidak berzina. “Aku bersyukur”,  ujar Hamka, “aku tidak pernah terperosok ke lembah dosa besar itu selama hidupku”. 

Apa yang tidak ada dalam buku Adicerita Hamka ? Hamka meninggal tahun 1981, tentu cerita sesudahnya akan luput dari penceritaan. Namun ketika ia wafat ia sempat dilayat oleh adik tirinya (dari istri Haji Rasul yang bernama Hindun) Abdul Wadut Karim Amrullah yang menikah dengan seorang perempuan Indo bernama Vera. Wadut lama tinggal di AS. Ketika pulang ke Indonesia istri Wadut sempat masuk Islam dan mengucapkan kalimat syahadat di depan Buya Hamka. Namun tahun 1980, Vera kembali ke agama asalnya. Abdul Wadut kemudian mengikuti istrinya berpindah agama. Kini mereka tinggal di AS dan Wadut juga sudah menjadi pendeta agama Kristen. 

Cerita di atas tentu tidak mengurangi peran dan jasa Hamka dalam menyusun adicerita yang menempatkan Islam dalam Keindonesiaan. Sebuah metanarasi yang menurut Robert Berkhofer “menata masa lalu, menafsir masa kini dan memperkirakan masa depan. Rasa percaya diri yang luar biasa, kepercayaan kepada Islam sebagai agama pembebas bukan penindas, impian untuk mengisi kehidupan Indonesia modern dan bangsa dengan kearifan dan kebenarannya”. 

Hamka adalah seorang “kolaborator” yang seringkali menuliskan rapat-rapat rahasia dan pentingnya perjuangan kebangsaan dengan menarasikan dalam suatu berita sehingga tidak ketahuan penjajah, tetapi bisa dipahami dan menggerakan para pemuda kaum pergerakan perjuangan ketika itu. 



Prof. DR. M. Yunan Yusuf, MA:

Buku Rush belum menjelaskan Islam for Modern Indonesia? karena itu, saya akan menambahkan catatan saya sebagai pemikir kalam (teologi) bahwa Hamka memiliki cara pandang wasathiyah, yakni cara pandang yang tidak ke kiri (liberal) atau ke kanan (fundamentalis). Cara pandang wasathiyah inilah yang menurut Hamka sesuai dengan konteks Indonesia dan Islam Indonesia sekarang.

Buya Hamka berada dalam suasana dikotomis pendekatan keagamaan kakek Amrullah dengan Ayahnya (Haji Rasul), sehingga menjadikan Buya Hamka memiliki pandangan keagamaan yang berbeda, yakni seorang yang berpandangan wasathiyah (moderat). 

Cara pandang wasathiyah Hamka tersebut menekankan Keislaman dan Keindonesian dari sudut pandang substansi, tidak terjebak pada faham keberagamaan yang sempit, legalistik dan cenderung melahirkan konflik. Buya Hamka berpandangan terbuka dan berada di tengah-tengah dengan lebih menekankan pada pencapaian nilai hakiki atau tujuan terbaik dalam konteks Keislaman dan Keindonesiaan.

James Rush

Saya telah berusaha menggambarkan Buya Hamka sejujur-jujurnya pada semua aspek. Sebagai sejarawan saya juga telah berupaya menempatkannya dalam lingkup waktu dan tempat beliau sendiri, serta memahami hidup dan gagasannya dalam konteks kebangkitan Indonesia zaman itu.

Hamka adalah tokoh penting karena berbagai alasan, tetapi bagai saya, perannya yang paling penting adalah sebagai narrative maker. Ini sebabnya saya menekankan adicerta beliau, Great Storynya atau master narrativenya.

Saya sangat ingin mengatahui jika cendekiawan Indonesia setuju dengan gagasan ini atau mereka memilik pandangan yang berbeda.

Didalam dunia pendidikan, tujuan dituliskannya sebuah buku tidak lain sebagai bahan diskusi dan perdebatan.  Saya sangat menantikan hasil seminar anda mengenai Adicerita Hamka.

Tidak ada komentar