Page Nav

HIDE

Update

latest

Deradikalisasi Sejak Dini

Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan beberapa kali  ledakan bom yang terjadi berturut- turut dalam hitungan hari.   Diawali dengan keru...

Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan beberapa kali  ledakan bom yang terjadi berturut- turut dalam hitungan hari.   Diawali dengan kerusuhan yang terjadi  di Mako Brimob kelapa dua Depok antara para tahanan teroris hingga menewaskan lima aparat polisi yang sedang bertugas dan penyanderaan dua petugas yang berhasil diselamatkan. Drama penyanderaan tersebut berakhir dengan menyerahnya 155 tahanan teroris. Tidak hanya berhenti disitu saja berikutnya pelaku penyerangan yang diduga teroris menyerang dan menusuk seorang polisi hingga tewas.

Aksi teror kemudian berlanjut dengan  meledaknya bom di  tiga gereja Surabaya disaat umat kristiani hendak beribadah di hari Minggu. Mirisnya pelaku pengeboman terduga teroris meledakkan dirinya yang terdiri dari satu keluarga (Kepala keluarga, ibu, dan empat anak). Selang beberapa jam kemudian, tepatnya malam sekitar pukul 23.00WIB  meledak pula bom di rusunawa Sidoarjo yang menewaskan kedua orangtua dan anaknya. Berikutnya serangan bom yang dilakukan terduga teroris meledakkan diri di Polrestabes Surabaya hingga menewaskan empat pelaku, beruntungnya anak yang dibawa teroris saat meledakkan dirinya dengan bom selamat sampai saat ini masih mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. Selang sehari penyerangan terjadi di Polda Riau mengakibatkan meninggalnya satu polisi yang merangkap menjadi muazin serta guru mengaji. Peristiwa pengeboman yang melibatkan ibu dan anak sontak mengejutkan semua khalayak. Muncul berbagai macam pertanyaan dari berbagai kalangan seperti: 1) Bagaimana efektifitas deradikalisasi?, 2) Langkah apa yang harusnya dilakukan oleh aparat?, 3) Siapa saja yang berpotensi memilliki paham radikal?, 4) Bagaimana fungsi tripusat Pendidikan dalam deradikalisasi?

Efektifitas Deradikalisasi
Rentetan penyerangan dilakukan oleh keluarga melibatkan Kepala keluarga, ibu bahkan anak- anak yang berusia di bawah sepuluh tahun maupun belasan tahun. Menilik kasus pengeboman yang terjadi melibatkan satu keluarga memperlihatan upaya deradikalisasi yang dilakukan polisi bersama densus 88 baik represif maupun soft approach belum terlaksana dengan baik karena terkendala revisi UU no. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan tindak pidana  terorisme sebagai payung hukum aparat melakukan tindakan dan pencegahan teroris belum selesei di bahas di DPR. Pelaku peledakan bom yang melibatkan Ibu sebagai figure yang mengajarkan kasih sayang, sopan santun, hormat menghormati seolah- olah kandas dengan terjadinya  peristiwa pengeboman di tiga gereja Surabaya. Aparat berwenang perlu melakukan deradikalisasi soft approach kepada  gerakan- gerakan yang mengatasnamakan agama Islam, namun dicurigai mengindoktrinasi anggotanya yang mayoritas perempuan seperti ibu rumah tangga, akademisi, praktisi, dokter, ketua taklim masjid dan mahasiswi yang memiliki ghirah tinggi dengan ideologi- ideologi  yang cenderung anti “Kebhinekaan”. Aparat perlu  memetakan wilayah tertentu termasuk di dalamanya Perguruan Tinggi yang memiliki mahasiswi dengan ideolologi   berbeda dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Jika ini dibiarkan tanpa ditindak lanjuti maka tindakan anarkis yang dilakukan teroris melibatkan anak  tidak akan berkurang karena beberapa mahasiswi yang berintelektual akan melahirkan anak, mengasuh dengan mewariskan nilai- nilai  radikal pula seperti yang terjadi pada kelurga pengebom tiga gereja di Surabaya.

Memaksimalkan Tripusat Pendidikan
Ki Hajar Dewantara mengatakan tripusat Pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Tripusat Pendidikan harus dihidupkan dan memaksimalkan fungsinya. Keluarga sebagai unit terkecil dari suatu bangsa dimana ibu sebagai guru utama, dan pertama bagi anak-anaknya melaksanakan perannya untuk mendidik dan mengarahkan anak kepada nilai- nilai kebaikan. Apabila ibu sebagai tiang Bangsa memiliki iman yang kuat, memiliki jiwa nasionalisme tinggi, maka diharapkan mampu mendidik anak dengan baik dan dapat mengkounter indoktrinasi yang dilakukan pada anaknya. Sebaliknya jika Ibu memiliki ideologi berbeda dan radikal, anak-anakpun akan diindoktrinasi nilai- nilai radikal pula. Seperti yang dilakukan oleh anak usia 16 tahun anak  dari seorang terduga teroris yang meledakan bom bunuh diri di rusunawa Sidoarjo, Ia mampu menolak tinggal bersama kedua orangtuanya dan memilih tinggal bersama  nenek karena diajarkan kebencian dan jihad yang tidak tepat oleh orangtua. Kapolda Jawa Timur Irjen Machfud Arifin menuturkan satu dari empat anak pelaku pengeboman rusunawa sidoarjo menolak mengikuti orangtuanya untuk menjadi teroris.  Ini menunjukkan keberfungsian masyarakat sekitar terhadap adanya ideologi radikal.

Pendidikan Karakter di Sekolah
Sekolah sebagai tempat sosialisasi anak di luar lingkungan keluarga, memiliki fungsi untuk menginternalisasikan karakter positif sejak dini  seperti saling menghargai, saling berbagi, bersabar, simpati,memaafkan dan empati. Internalisasi karakter tidaklah mudah seperti membalikan tangan.  Ibarat memahat di atas batu, menanamkan nilai karakter yang dilakukan sejak dini akan membekas dan bertahan hingga menjadi habit (kebiasaan) yang akan dibawa sepanjang kehidupannya. Kelak jika anak dewasa, otomatis akan menentang nilai radikal yang diwariskan oleh orangtua dalam pengasuhan. Oleh karena itu deradikalisasipun perlu dilakukan oleh aparat dengan melibatkan guru- guru TK/PAUD yang diduga merupakan kantong berkembangnya paham radikal. Anak usia TK/PAUD akan selalu mengikuti apa yang dinasehatkan oleh gurunya, jika Ia melakukan perbuatan yang tidak baik maka apa yang diucapkan gurunya akan lebih diikuti daripada perkataan orangtuanya. Guru digugu dan ditiru merupakan personel yang cukup efektif untuk dilibatkan dalam upaya deradikalisasi dari sekolah. Kegiatan parenting sebagai forum diskusi yang dilakukan sekolah dengan komite orangtua  murid dilakukan di sekolah minimal tiga kali dalam satu tahun pelajaran, dianggap cukup efektif sebagai media sosialisasi dan deteksi dini orangtua yang memiliki paham radikal. Penaggulangan paham radikal perlu melibatkan lintas sector. Polisi sebagi leading sector harus proaktif melibatkan berbagai instansi sebagai mitra untuk mengurangi berkembangnya paham radikal di masyarakat luas  agar ke depannya generasi penerus bangsa mampu menjaga kedamaian dan kenyaman seluruh masyarakat dalam berbangsa dan bernegara dalam bingkai NKRI yang beradab serta bermartabat.

Penulis: Susianty Selaras Ndari, Dosen PG. Paud Uhamka

Tidak ada komentar