Inferioritas Partai Islam Opini Inferioritas Partai Islam BESOK, 10 Agustus 2018 akan menjadi tanggal mendebarkan bagi perpol...
Opini
Inferioritas Partai IslamBESOK, 10 Agustus 2018 akan menjadi tanggal mendebarkan bagi perpolitikan Tanah Air, karena pada tanggal deadline
Oleh Marah Halim
BESOK, 10 Agustus 2018 akan menjadi tanggal mendebarkan bagi perpolitikan Tanah Air, karena pada tanggal deadline itulah nantinya akan diketahui siapa saja para kontestan Pemilihan Presiden/Wakil Presiden (Pilpres) 2019.
Menjelang tenggat waktu tersebut, satu hal yang cukup merisaukan bagi penulis pribadi adalah mengapa partai-partai yang berbasis Islam tidak mengusung calon sendiri, di luar dua figur yang selama ini teru s digadang-gadang; alih-alih malah masing-masing âcarperâ pada dua figur lawas tersebut. Kalaupun Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mulai berancang-ancang, tapi bukan merupakan opsi A-nya, hanya jadi plan B jika jagonya tidak diakomodir oleh Prabowo. Dari partai Islam pendukung petahana, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), juga sudah mewanti-wanti jika tidak digaet jadi wapres, mereka akan urung dari koalisi.
Diagnosa awal terhadap fenomena ini tampaknya adalah adanya inferiority complex yang menjangkiti partai-partai Islam. Mengutip Alfred Adler (1870-1937), pakar psikologi individual, inferiority complex diartikan sebagai sebuah kondisi psikologis, di mana seseorang atau suatu pihak merasa inferior/lemah/lebih rendah dibanding pihak lain. Kondisi semacam ini, bisa berujung kepada kompensasi atau pemujaan yang berlebihan pada suatu pencapaian atau tendensi untuk mencari pengakuan atau apresiasi dari pihak lain. Keadaan semacam ini, biasanya di sebabkan oleh kegagalan yang dialami secara pribadi atau kesuksesan luar biasa yang dicapai pihak lain.
Paradoks politik
Partai-partai dengan garis ideologi yang sama dan dengan modal keterwakilan yang cukup, tetapi kemudian memilih tidak mengusung calon sendiri adalah sebuah paradoks dalam politik. Rumus politik adalah merebut posisi paling puncak dalam organisasi negara, bukan memperebutkan âban serepâ yang sudah pasti kalaupun didapat tidak akan berfungsi maksimal; sekadar pelengkap penderita. Hanya figur wapres yang cukup lincah yang bisa melakukan terobosan dan lepas dari kungkungan kelaziman politik terhadap posisi wapres.
Ada lima partai yang beraliran Islam yang menjadi kontestan pemilu legislatif, yaitu PKS, PAN, PKB, Partai Bintang Bulan (PBB), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP); yang jika konsisten dan sepakat bisa mencapat ambang batas untuk mencalonkan presiden secara mandiri. PKS 8.480.204 (6,79%), PAN 9.481.621 (7,59%), PKB 11.298.957 (9,04%) , PBB 1.825.750 (1,46%), dan PPP 8.157.488 (6,53%). Data KPU ini (Kompas, 9/5/2014) jika ditotal, maka partai-partai Islam memiliki 31,41% suara; sangat memenuhi syarat untuk mengusung calon sendiri.
Sikap partai-partai yang beraliran Islam yang melengos-lengos tidak menunjukkan jati dirinya yang asli. Jika jati diri adalah idealisme, maka yang tampak dalam sikap politik yang terbaca hingga kini adalah sikap oportunis, bahkan untuk sekadar menyebut pragmatis pun tidak layak. Bukan tidak boleh bersikap oportunis dalam politik, tetapi bersikap oportunis jauh sebelum pemilu legislatif bukanlah sikap yang cukup layak diapresiasi. Kalah sebelum bertanding, itulah ungkapan yang paling tepat.
Tentu saja sikap partai-partai politik yang beraliran Islam tersebut sangat mengecewakan publik. Setidaknya sikap tersebut adalah sebentuk pengabaian tanggung jawab moral --kalau bukan pengkianatan-- terhadap aspirasi umat. Untuk apa memakai embel-embel Islam, jika tidak konsisten dalam praktik dan hanyut dalam langgam yang ditabuh oleh partai-partai yang mengaku beraliran nasionalis yang juga belum tentu praktiknya membela kepentingan nasional.
Publik yang mayoritas muslim sesungguhnya bingung dengan kalkulasi politik partai-partai yang berasas Islam. Hampir semuanya kompak tidak menyasar posisi presiden dan semuanya berupaya merebut posisi wapres. Pileg belum pun dimulai, tetapi seolah PKS dan partai-partai berasas Islam yang lain sudah angkat bendera putih dari mengincar posisi presiden.
Sah-sah saja, tentunya, jika PKS bersikap demikian, tetapi publik juga berhak untuk menilai bahwa langkah PKS itu menunjukkan kecenderungan umum partai-partai yang berasas Islam; bersikap minder dan inferior di hadapan partai-partai yang nasionalis. Sebagai warga masyarakat kita pantas kecewa, karena dalam politik posisi yang diperebutkan seharusnya posisi puncak, karena posisi itulah yang merupakan inti pengambilan keputusan.
Halaman selanjutnya 1 23
Tidak ada komentar