Page Nav

HIDE

Ads Place

Karakteristik Umat Pilihan: Hidup Berjiwakan Al-Quran

Karakteristik Umat Pilihan: Hidup Berjiwakan Al-Quran KIBLAT.NET â€" Suatu ketika Hisyam bin Amir bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ...

Karakteristik Umat Pilihan: Hidup Berjiwakan Al-Quran

KIBLAT.NET â€" Suatu ketika Hisyam bin Amir bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha tentang akhlak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan singkat Aisyah menjawab, “Kana khuluquhu Al-Qur’an (Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Al-Qur’an),” (HR. Muslim)

Ya, sebuah jawaban yang cukup singkat namun sarat dengan makna. Aisyah radhiyallahu ‘anha menyifati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dengan satu sifat yang dapat mewakili seluruh sifat mulia yang ada. Seolah-olah Aisyah ingin mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Al-Qur’an yang berjalan.

Jika Al-Qur’an bisa diibaratkan seperti blue print yang berisi seperangkat aturan moral serta norma-norma agama dan sosial, maka Rasulullah adalah wujud nyata dari aturan moral serta norma-norma agama dan sosial tersebut. Karena itu, cerminan ak hlak yang paling mulia adalah ketika mampu mewujudkan seluruh nilai-nilai Al-Quran dalam kehidupannya. Atas dasar ini pula kita bisa memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

إِنَÙ'مَابُعِثÙ'تُ لِأُتَمِÙ'Ù…ÙŽ صَالِحَ الÙ'Ø£ÙŽØ®Ù'لَاقِ

“Sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia,” (HR. Ahmad)

Dalam bermuamalah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu menunjukkan akhlaknya yang mulia terhadap siapa pun yang beliau temui. Bahkan terhadap orang kafir sekalipun, Rasulullah tetap menampilkan pribadinya yang santun dan terpuji.

Di antara contoh teladan yang sering kita baca adalah tentang perlakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap penduduk Thaif yang melemparinya dengan batu, hingga tubuh beliau berlumuran darah. Lalu ketika malaikat Jibril ‘alaihissalam datang menawarkan bantuan untuk menghancurkan penduduk Thaif terse but, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru melarangnya. Beliau hanya berdoa dan berharap semoga kelak di antara keturunan mereka ada yang mendapatkan hidayah dan membela agama Islam.

Akhlak Mulia Laksana Al-Quran yang Berjalan

Dalam Al-Qur’an, Allah Ta’ala membanggakan umat ini dengan karakternya yang mulia. Hal ini ditandai dengan prinsip iman yang Allah jadikan selalu melekat dengan akhlak yang terpuji. Lalu Allah pun menjadikan akhlak sebagai barometer keimanan. Tolak ukur keimanan seseorang bisa dilihat dari sejauh mana keluhuran akhlak yang dimilikinya. Karena itu, untuk memiliki iman yang sempurna, seorang mukmin dituntut untuk senantiasa memiliki akhlak yang baik terhadap siapa pun juga. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmizi)

Selain terhadap sesama manusia, seor ang mukmin juga harus memerhatikan akhlaknya terhadap Allah Ta’ala. Bahkan ini menjadi perhatian utama dalam hidupnya, yaitu bagaimana menjaga hubungan baik dengan Sang Pencipta.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Keluhuran akhlak itu terbagi dua. Pertama, akhlak yang baik kepada Allah, yaitu meyakini bahwa segala amalan yang anda kerjakan pasti mengandung kekurangan sehingga membutuhkan udzur dari-Nya dan segala sesuatu yang berasal dari-Nya wajib disyukuri.

Dengan demikian, anda senantiasa bersyukur kepada-Nya dan meminta ampun kepada-Nya serta berjalan kepada-Nya sembari memperhatikan dan mengakui kekurangan diri dan amalan anda. Kedua, akhlak yang baik terhadap sesama manusia. kuncinya terdapat dalam dua perkara, yaitu berbuat baik dan tidak mengganggu sesama dalam bentuk perkataan dan perbuatan.” (Tahzibus Sunan, 7/161)

BACA JUGA "Mubazir Nak, Kami Semua di Sini Membutuhkan Makan"

Dalam kitab †œWaqi’unal Mua’ashir”, Dr. Muhammad Qutub menerangkan bahwa di antara bukti keistimewaan ajaran Islam ialah Allah mengaitkan ikatan iman dengan akhlak yang terpuji. Dalam QS. Ar-Ra’d ayat 20-23, Allah Ta’ala berfirman:

“(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian, dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkannya, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridaan Tuhannya, mendirikan salat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik),…”

Imam Asy-Syaukani menjelaskan bahwa makna “(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah” memenuhi seluruh janji yang pernah mereka ikrarkan. Baik antara mereka dengan Allah Ta’ala ataupun antar sesama manusia. (Fathul Qadir, 1/172)

Sementara itu Ibnu Abbas menjelaskan, “Memenuhi janji Allah adalah memenuhi janji yang pernah diikrarkan manusia ketika di alam rahim, “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul, kami menjadi saksi” (Mafatihul Ghaib, 19/33)

Lalu di ayat berikutnya Allah Ta’ala jelaskan tentang akhlak mereka yang tidak beriman;

“Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam),” (QS. Ar-Ra’d: 26)

Maknanya, karakter mereka yang beriman selalu menunjukkan keluhuran akhlak. Tak hanya hubungannya dengan semua makhluk yang ada di muka bumi, namun juga memerhatikan hubungannya dengan Allah ta’ala . Maka standar yang tepat untuk mengukur kesempurnaan akhlak seseoran g adalah ketika dia mampu mewujudkan isi al-Qur’an dalam kehidupannya. Sehingga seluruh gerak-geriknya tak ubahnya seperti al-Qur’an yang berjalan.

Hidup Berjiwakan al-Quran

Para sahabat adalah generasi yang paling sempurna dalam beriman. Mereka berhasil meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam segala sisi kehidupannya. Tidak hanya dalam urusan ibadah, dalam aspek yang lain pun seluruhnya mereka contoh dari beliau. Terlebih dalam ber-akhlak antar sesama manusia. Mereka saling berlomba-lomba untuk menjadi sosok seperti al-Quran yang berjalan.

BACA JUGA 10 Negara Eropa yang Melarang Busana Muslimah

Kemulian akhlak terhadap Allah, mereka wujudkan dengan cara totalitas dalam mengamalkan syariatnya. Tidak pernah mengingkari satu pun janji yang telah mereka ikrarkan. Demi agama, mereka rela mengorbankan apapun yang dimiliki, hingga nyawa sekalipun. Prinsipnya, semua konsekuensi syahadat (ikrar) mereka penuhi dan tak pernah sat u pun yang diabaikan.

Sementara keluhuran akhlak terhadap sesama makhluk, berhasil mereka buktikan dalam setiap momen kehidupan mereka. Baik dalam berpolitik, bersosial, bermuamalah, bahkan dalam berperang sekalipun. Semuanya mereka lewati dengan menjunjung tinggi norma-norma yang terkandung dalam al-Qur’an.

Dalam memegang amanah misalnya, ketika Abu Bakar dipilih sebagai khalifah, pidato pertama kali yang muncul dari lisan beliau adalah, “Amma ba’du, wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian meski aku bukan yang terbaik di antara kalian. Jika aku berbuat baik, dukunglah saya. Sebaliknya jika aku berbuat salah, luruskanlah saya…” ungkapan yang sama juga diucapkan oleh Umar bin Khatab saat beliau ditunjuk sebagai pemimpin umat Islam.

Demikianlah salah satu contoh kemulian akhlak para sahabat. Meskipun tampuk kekuasaan sudah berada di tangan mereka, mereka tetap merendah diri dan selalu berupaya agar sejalan dengan petunjuk al-Quran. Bagi mereka kedudukan bukanlah tujuan yang harus dikejar, tapi ia hanyalah sarana agar bisa mendapatkan kesempatan beramal lebih banyak. Sehingga dalam memimpin pun mereka tidak segan-segan menyuruh rakyatnya untuk meluruskan sikapnya jika menyimpang dari petunjuk al-Quran.

Demikian juga dalam peperangan, mereka selalu mengingatkan pasukannya dengan pesan yang pernah disampaikan oleh Nabi, “Berperanglah di jalan Allah dengan menyebut namaNya. Perangilah mereka yang kufur. Berperanglah, jangan kalian berlebihan (dalam membunuh). Jangan kalian lari dari medan perang, jangan kalian memutilasi, jangan membunuh anak-anak, perempuan, orang tua yang sepuh, dan rahib di tempat ibadahnya.” (HR. Muslim)

Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq memberangkatkan mujahidin menuju Syam, ia berwasiat kepada pasukannya:

وَلا تُغÙ'رِقُنَÙ' Ù†ÙŽØ®Ù'لاً وَلا تَحÙ'رِقُنَÙ'هَا، وَلا تَعÙ'قِرُوا بَهِيمَة Ù‹ØŒ وَلا شَجَرَةً تُثÙ'مِرُ، وَلا تَهÙ'دِمُوا بَيÙ'عَةً

“Jangan sekali-kali menebang pohon kurma, jangan pula membakarnya, jangan membunuh hewan-hewan ternak, jangan tebang pohon yang berbuah, janganlah kalian merobohkan bangunan,…” (Tarikh Dimasyq 2/75)

Sungguh mulia akhlak yang mereka contohkan. Akhlaknya terhadap Allah Ta’ala, mereka tunjukkan dengan cara totalitas menunaikan perintahNya. Sementara terhadap sesama makhluk mereka selalu bersikap rahmah dan menghindar dari segala bentuk kezaliman. Karena itu, mereka mampu menjadi umat pilihan yang mampu mewujudkan seluruh kandungan A-Quran dalam kehidupannya. Wallahu a’lamu bissowab

Penulis: Fakhruddin
Editor: Arju

Sumber: Google News Network: Koranmu Indonesia

Tidak ada komentar

Ads Place