Page Nav

HIDE

Ads Place

Drama Politik

Drama Politik Opini Drama Politik SEBAGAI penikmat drama yang sedang duduk dibangku paling sudut sebuah pertunjukan, sesekali...

Drama Politik

Opini

Drama Politik

SEBAGAI penikmat drama yang sedang duduk dibangku paling sudut sebuah pertunjukan, sesekali saya harus tersenyum

Drama PolitikPLT Gubernur Aceh, Nova Iriansyah bersama Kapolda Aceh, Irjen Pol Rio S Djambak, Pangdam IM, Mayjen TNI Teguh Arief Indratmoko, Wali Nanggroe, Tgk Malik Mahmud Al-Haythar, Komisioner KIP dan Panwaslih Aceh, pimpinan parpol, serta calon anggota DPD RI melepas burung merpati pada deklarasi Kampanye Damai Pemilu 2019, di Lapangan Blangpadang, Banda Aceh, Minggu (23/9).

Oleh Asriatun Zainal

SEBAGAI penikmat drama yang sedang duduk dibangku paling sudut sebuah pertunjukan, sesekali saya harus te rsenyum. Entah karena optimis atau pesimis atau barang kali karena atau tanpa keduanya. Ada banyak kejutan-kejutan yang dihadirkan dalam drama politik menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2019.

Apa yang paling menarik dari momen lima tahunan Indonesia? Tentunya euphoria sebelum dan sesudah pemilu, yang barangkali akan sama meriahnya. Meriah dengan teriakan saling hujat antar-pendukung calon yang ikut dalam konstelasi perpolitikan di Indonesia. Baik dalam pemilihan presiden (Pilpres) ataupun pemilihan legislatif (Pileg) pada 2019 mendatang.

Kita akan dengan mudah mendapati teman yang dulunya duduk semeja saling membuang muka, “musuh” lama yang kembali menyapa, demo-demo mahasiswa, pernak-pernik (souvenir) pemilu. Atau teman “tiba-tiba” yang tak henti mengajak ngopi bersama. Tidak kalah, sosial media dengan romasa kebencian dan fitnah. Begitulah wajah politik kita.

Tiba-tiba ucapan persaudaraan terdengar di mana-mana. Entah dengan cara apa, kemudian kita sepe rti memiliki ikatan kekeluagaan yang tak dapat dijelaskan. Kita menjadi adik, abang, kakak, sepupu, ayah angkat, anak angkat, ibu sebut atau segudang istilah lain untuk memperoleh dukungan. Suara-suara perubahan menggaung tajam. Yang muda bicara tentang kemajuan, sinergisitas, efektivitas, dan kreativitas. Yang tua bicara pengalaman, kebijaksanaan dan keteladanan.

Di lain sisi, para pendukung di lini bawah saling menghujat, menfitnah dan menyebar kebohongan. Sementara para elite politik sibuk menyiapkan drama perkocoan baru, drama tagar, drama debat, hingga drama adu kecerdasan yang saya rasa cukup konyol. Mengingat usulan Debat Capres/Cawapres menggunakan bahasa asing, padahal mayoritas rakyat Indonesia tidak bisa berbahasa asing. Sebagian bahkan masih terbata-bata dalam menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Lalu, untuk siapa debat itu ditunjukkan?

Saling sindir terjadi dalam debat-debat kusir di media elektronik, media massa, hingga media sosial. Rakyat a khirnya hanya sekadar korban pencitraan. Jangan karena ambisi menampilkan sosok yang kharismatik dan cerdas kemudian menghilangkan substansi kemanfaatan bersama. Yang perlu didengar masyarakat adalah visi-misi rasional nir utopis pasca-berakhirnya pemilu.

Terjebak drama
Seperti halnya menyaksikan lakon India atau drama Korea “kaum milenial”, sedikit banyak kita hanyut dalam suasana yang mendayu. Beberapa mungkin pernah ikut sedih akibat terbawa suasana, atau tertawa geli menyaksikan tingkah konyol para pelakon. Atau akui saja pernah ikut emosi menyaksikan Icha yang kerap mendapat perlakuan curang dari Tapasya dalam drama romansa India berjudul Uttaran. Begitu juga sedikit banyak yang dirasakan para penikmat “drama politik” yang ikut terbawa suasana.

Dunia politik tak jauh berbeda, penuh aktor, baik pendatang baru ataupun lama. Para aktornya beragam. Ada yang sukses dalam waktu singkat karena kualitas “acting”nya bagus, memiliki banyak p enggemar dan tidak sombong. Ada yang bermodal; tampan, dan rupawan serta diidolakan para remaja dan wanita, ada yang menumpang nama besar orangtuanya, ada yang besar karena kontroversi, ada yang berjuang dari bawah. Ada yang tetap sederhana dan bersahaja, ada yang menjadi glamour, ada pula yang tiba-tiba saja “berhijrah” agar tetap “laku”.

Selalu ada daya jual para aktor agar tetap eksis di hati masyarakat. Pertanyaannya apakah kemudian kita menjadi begitu terbuai dalam drama politik ini? Dalam politik, ada segudang bargaining politik yang ditawarkan, agar mendapat tempat dan bisa duduk dikursi paling nyaman, ada yang tetap bertahan agar tidak tergeser. Ada yang berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menggeser.

Halaman selanjutnya 12
Editor: hasyim Sumber : Serambi Indonesia Ikuti kami di Sumber: Politik

Tidak ada komentar

Ads Place