Ulama Salaf Pantang Mengafirkan Muslim Lain Di antara musibah besar yang menimpa umat Islam adalah adanya orang-orang yang mudah mengafirkan...
Di antara musibah besar yang menimpa umat Islam adalah adanya orang-orang yang mudah mengafirkan Muslim lainnya. Hal ini membuat perpecahan serius di tubuh umat ini, apalagi bila ada yang mengarah pada penghalalan darah sesama Muslim. Alasan pengafiran ini beragam, namun lumrahnya karena ketidaksepakatan dalam menyikapi suatu hal yang berhubungan dengan aqidah. Namun ada juga pihak yang begitu mudahnya menjatuhkan vonis kafir sebab perbedaan pandangan di tataran fiqih semata, ini adalah ekstremisme yang sangat berbahaya.
Tengok saja misalnya pola dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab, penggagas paham Wahabiyah yang mengilhami beberapa kelompok âpuritanâ di era selanjutnya. Ia tak segan-segan mengafirkan orang yang berbeda pendapat dengannya sebab ia merasa sudah mempunyai dalil Al-Qurâan dan hadits sehingga dirinya merasa bahwa menyelisihinya berarti sama saja dengan menyelisihi Al-Qurâan dan hadits. Ketika membahas tentang orang-orang yang bertawassul dengan para Nabi dan orang salih yang telah meninggal di kubur mereka, ia mengatakan:
ÙÙÙÙ ÙÙØ§Ã˜± ٠رتدÙÙ عÙ اÙØ¥Ã˜³Ã™Ã˜§Ã™ Ø Ù٠٠جادÙ عÙÙÙ Ø Ø£Ã™ أÙÙØ± عÙÙ Ù Ù ÙÙØ±Ã™Ã™ Ø Ø£Ã™ زعÙ أÙ ÙØ¹Ã™Ã™Ã™ ÙØ°Ã˜§Ã˜ ÙÙ ÙØ§Ã™ باطÙØ§ ÙÙØ§ ÙØ®Ã˜±Ã˜¬Ã™Ã™ إÙÙ اÙÙÙØ±Ã˜ ÙØ£Ã™Ã™ أØÙاÙ ÙØ°Ã˜§ اÙÙ جادÙØ أÙÙ ÙØ§Ã˜³Ã™ ÙØ§ ÙÙØ¨Ã™ خطÙ ÙÙØ§ شÙØ§Ã˜¯Ã˜ÂªÃ™Ã˜ ÙÙØ§ ÙØµÙ٠خÙÙÙ. بÙ ÙØ§ ÙØµØ دÙÙ اÙØ¥Ã˜³Ã™Ã˜§Ã™ Ø Ø¥Ã™Ã˜§ باÙØ¨Ã˜±Ã˜§Ã˜¡Ã˜© Ù Ù ÙØ¤Ã™Ã˜§Ã˜¡ ÙØªÙÙÙØ±Ã™Ã™
âMereka semua kafir, murtad dari Islam. Siapa yang berdebat membela mereka atau mengingkari kekafiran mereka atau menyangka bahwa tindakan mereka ini meskipun batil tetapi tidak berakibat kekafiran, maka derajat minimal bagi pembela ini adalah ia fasiq, tidak diterima pernyataan dan persaksiannya, tidak boleh salat menjadi makmumnya. Bahkan tidak sah agama Islam kecuali dengan berlepas diri dari orang-ora ng itu dan mengafirkan mereka.â (Abdurrahman al-âAshimi, ed, al-Durar al-Saniyyah fi al-Ajwibah al-Najdiyah, juz X, halaman 53)
Dengan pola pikir sedemikian, ia telah menjadi seorang penganut monisme sejati yang memonopoli kebenaran dan merasa bahwa hanya penafsirannya terhadap Al-Qurâan dan hadits yang benar. Padahal sebenarnya tawassul hanyalah soal ragam redaksi dalam berdoa semata, intinya tetap saja para pelaku tawassul hanya berdoa kepada Allah saja tanpa bermaksud menyekutukan-Nya dengan apa pun.
Bandingkan dengan pernyataan Imam Abu Hasan al-Asyâari dan Syekh Ibnu Taymiyah yang juga didukung sepenuhnya oleh Adz-Dhahabi, periwayatnya, berikut ini:
رÙØ£Ã™Ã™Ã™'تÙ ÙÙÙØ£Ã™Ã˜´Ã˜¹Ã˜±Ã™Ã™Ã™' ÙÙÙ ÙØ© أÙØ¹Ã˜¬Ã˜¨Ã˜ÂªÃ™Ã™Ã™Ã™ ÙÙÙÙÙ٠ثÙØ§Ã˜¨Ã™Ã˜ÂªÃ™Ã˜© رÙÙÙØ§Ã™Ã™Ã˜§ اÙØ¨Ã™Ã™Ã™'ÙÙÙÙÙÙ'Ø Ø³Ã™Ã™ ÙØ¹Ã™'ت٠أÙØ¨Ã™Ã˜§ ØÙازÙÙ اÙØ¹Ã™Ã˜¨Ã™'دÙÙÙÙÙ'ÙØ سÙÙ ÙØ¹Ã™'ت٠زÙØ§Ã™Ã™Ã˜± بÙ أÙØÙ'Ù ÙØ¯Ã™ اÙØ³Ã™'ÙØ±Ã™Ã˜®Ã™'سÙÙÙ' ÙÙÙÙÙÙ'ÙÙ: Ù ÙÙ Ù'ÙØ§ ÙÙØ±Ã™Ã˜¨Ã™ ØÙضÙÙÙ'رÙ أÙØ¬Ã™ أÙØ¨Ã™Ã™ اÙØÙØ³Ã™Ã™Ã™ اÙØ£Ã™Ã˜´Ã™'عÙØ±Ã™Ã™Ã™'Ù ÙÙ٠دÙØ§Ã˜±Ã™Ã™ بÙØ¨Ã™Ã˜ÂºÃ™'دÙØ§Ã˜¯Ã™Ã˜ دعÙØ§Ã™Ã™Ã™ ÙÙØ£Ã™Ã˜ÂªÃ™Ã™Ã™'تÙÙØ ÙÙÙÙØ§Ã™Ã™: اشÙØ¯Ã™' عÙÙÙ'٠أÙÙÙ'ÙÙ ÙØ§Ã™ أÙÙÙÙ'ÙØ± أÙØÙØ¯Ã˜§Ã™ Ù ÙÙÙ' أÙÙÙ'Ù٠اÙÙÙØ¨Ã™'ÙÙØ©Ã˜ ÙØ£Ã™Ã™Ã™'٠اÙÙÙÙ'Ù ÙÙØ´Ã™Ã™Ã˜±Ã™Ã™Ã™'Ù٠إÙÙÙÙ ٠عبÙØ¯Ã™ ÙÙØ§Ã˜Ã™Ã˜¯Ã˜ ÙÙØ¥Ã™Ã™Ã™'ÙÙ ÙØ§ ÙÙØ°Ã™Ã˜§ ÙÙÙÙ'Ù٠اخÙ'تÙÙØ§Ã™Ã™ اÙØ¹Ã™Ã˜¨Ã™Ã˜§Ã˜±Ã™Ã˜§Ã˜Âª. ÙÙÙÙ'تÙ: ÙÙØ¨Ã™Ã˜Ã™ ÙÙØ°Ã™Ã˜§ أÙØ¯Ã™Ã™Ã˜ ÙÙÙÙØ°Ã™Ã˜§ ÙÙØ§Ã™Ã™ شÙÙÙ'خÙÙÙØ§ ابÙ'ÙÙ تÙÙ ÙÙÙ'ÙØ© ÙÙ٠أÙÙÙØ§Ã˜®Ã™Ã˜±Ã™ أÙÙÙ'ÙØ§Ã™ Ù ÙÙÙÙÙÙ'ÙÙ: أÙÙÙØ§ ÙØ§Ã™ أÙÙÙØ± أÙØÙØ¯Ã˜§Ã™ Ù ÙÙ٠اÙØ£Ã™Ã™ Ù'ÙØ©Ã˜ ÙÙÙÙÙÙÙÙ'ÙÙ: ÙÙØ§Ã™Ã™ اÙÙÙ'ÙØ¨Ã™Ã™Ã™'Ù - صÙÙÙ'Ù٠اÙÙÙ'ÙÙ٠عÙÙÙÙÙ'ÙÙ ÙÙØ³Ã™Ã™Ã™'ÙÙ Ù -: ÙØ§Ã™ ÙÙØÙØ§Ã™Ã™Ã˜¸Ã™ عÙÙÙ اÙÙ'ÙØ¶Ã™Ã™Ã˜¡ إÙÙØ§Ã™'Ù Ù ÙØ¤Ã™'Ù ÙÙÙ ÙÙÙ ÙÙÙ' ÙØ§Ã™Ã˜²Ã™Ã™ ٠اÙØµÙ'Ù ÙÙÙÙØ§Ã˜ÂªÃ™ بÙØ¶Ã™Ã˜¡Ã™ ÙÙÙÙÙÙ Ù ÙØ³Ã™'ÙÙÙ .
âSaya melihat satu kalimat dari al-Asyâari yang membuat saya kagum, yaitu kalimat yang valid diriwayatkan oleh al-Baihaqi: Aku mendengar dari Abu Hazim al-Abdawi, Aku mendengar Zahir bin Ahmad as-Sarakhsi berkata: Ketika sudah dekat datangnya ajal Abu Hasan al-Asyâari di rumahku di Baghdad, dia memanggilku lalu berkata: âSaksikanlah aku bahwa aku tak mengafirkan seorang pun dari Ahli Kiblat sebab sesungguhnya semua merujuk pada satu sesembahan yang sama. Yang berbeda hanyalah ungkapan semata.â Aku (adz-Dzahabi) berpendapat bahwa dengan yang semacam inilah aku beragama. Demikian juga guru kami, Ibnu Taymiyah di akhir-akhir hayatnya berkata: âAku tak mengafirkan seorang pun dari umat iniâ. Dia berkata: âNabi Muhammad ï·Âº bersabda: Tidaklah menjaga wudhu kecuali seorang mukmin, maka barangsiapa yang selalu shalat disertai wudhu, maka dia adalah orang Islam.â (Adz-Dzahabi, Siyar Aâlâm an-Nubalââ, juz X V, halaman 88).
Demikianlah pernyataan terakhir dari Imam Abu Hasan al-Asyâari dan Syekh Ibnu Taymiyah. Meskipun keduanya sering dikesankan berseberangan, namun di akhir hayatnya keduanya sepakat untuk berpantang dari menjatuhkan vonis kafir secara gegabah terhadap muslim lain. Perbedaan di antara kaum muslimin umumnya hanya semata perbedaan redaksi untuk menyembah Allah Yang Maha Esa. Itulah teologi damai yang diyakini mayoritas umat ini (Aswaja). Teologi damai inilah yang harus selalu dipromosikan serta dilestarikan dari waktu ke waktu. Wallahu a'lam.
Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU Jember dan Peneliti di Aswaja Center Jember.
Sumber: Google News Muslim Network: Koranmu Indonesia
Tidak ada komentar