Page Nav

HIDE

Ads Place

Warisan Politik Rahwana

Warisan Politik Rahwana Warisan Politik Rahwana Oleh : Seno Gumira Ajidarma ...

Warisan Politik Rahwana

Warisan Politik Rahwana Oleh :

Seno Gumira Ajidarma

Jumat, 12 Oktober 2018 07:00 WIB
Pagelaran wayang dengan lakon Bima Jumeneng Guru Bangsa yang dihadiri Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dan Mendagri Tjahjo Kumolo di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, 27 Januari 2018. TEMPO/Dewi Nurita

Pagelaran wayang dengan lakon Bima Jumeneng Guru Bangsa yang dihadiri Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri dan Mendagri Tjahjo Kumolo di Tugu Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, 27 Januari 2018. TEMPO/Dewi N urita

Seno Gumira Ajidarma
Panajournal.com

Apakah Ramayana, yang menjadi sumber susastra wayang, merupakan ajaran moral? Dalam berbagai pernyataan hak atas kebenaran (claim), wayang sering dianggap sebagai “agama lokal”, meski dalam kenyataannya lebih sahih sebagai hegemoni budaya luar Nusantara. Betapa pun, dalam proses berabad-abad, sejak tahun 856 jika dihitung dari peresmian ivagrha-terduga kuat kompleks Prambanan, tempat terdapatnya relief Ramayana (Jordaan, 2009: 32); dan sejak tahun 996 jika dihitung dari adaptasi susastra tertua (Damais, 1952; 63), memang terus-menerus mengalami negosiasi, bahkan resistensi dalam penafsirannya, sampai sahih pula disebut kebudayaan Indonesia.

Namun, ketika ajaran moral ini dipandang secara politis, yakni berdasarkan kepentingan para pemandangnya, sangat mungkinlah ajaran moral dibolak-balik, bahwa yang dalam pandangan moralistis merupakan perilaku terlarang, demi kepen tingan politik kekuasaan malah seperti anjuran. Boleh dicurigai, segala muslihat dan tipu daya yang diceritakan kembali oleh Wâlmiki, sekitar abad ke-5 Sebelum Masehi sampai abad ke-1 Masehi, dengan sebaik-baiknya telah dimanfaatkan. Tengok kibul Rahwana berikut:

Kibul Penyesalan. Dalam versi Sunda, Rahwana hanyalah raksasa kecil dibanding tiwikrama Arjuna Sasrabahu. Setelah dikalahkan, ia diikat pada roda kereta dan karenanya selalu ikut berputar. Meskipun Rahwana menangis penuh penyesalan dan kakek buyutnya memohonkan ampun, Arjuna Sasrabahu tahu Rahwana tak bisa disadarkan. Betapa pun, ratapan Resi Pulasta itu telah meluluhkannya.

Kibul Rayuan. Sewaktu bertempur dengan Subali, Rahwana tak bisa mengalahkannya karena Subali memiliki ajian Pancasona. Akhirnya Rahwana memuja-muja Subali dan mendapat ajian itu. Subali nyaris dibunuhnya jika tidak dihalangi dewa. Hal yang sama telah dilakukannya terhadap Danapati untuk mendapatkan ajian Rawe Rontek, tapi Danapati tak d iselamatkan karena telah membunuh ayahnya sendiri.

Kibul Penyamaran. Episode paling terkenal, Kala Marica menjadi kijang kencana untuk menjauhkan Rama dan Laksmana dari Dewi Sinta, sementara Rahwana menyamar sebagai pendeta tua yang minta sedekah. Meski Laksmana melindungi Sinta dengan garis lingkaran sakti, Rahwana tetap berhasil menculiknya karena Sinta mengulurkan tangan.

Kibul Penipuan 1. Untuk meyakinkan Sinta bahwa tiada gunanya menunggu Rama dan Laksmana, Rahwana memenggal anak-anaknya sendiri, Sondara dan Sondari, yang memang mirip Rama-Laksmana. Bahkan Sinta nyaris percaya, jika Trijata tidak menyeberangi laut di atas penyu raksasa ke Pancawati untuk membuktikannya sendiri.

Kibul Penipuan 2. Ketika Anggada anak Subali diutus sebagai duta ke Alengka, Rahwana memutarbalikkan fakta kematian Subali, yang dipercaya Anggada karena sudah mabuk minuman keras. Anggada kembali ke Pancawati dan mengamuk. Hanya setelah dibuat pingsan oleh Hanuman, esoknya Anggada bisa disadarkan dari fitnah Rahwana.

Mengingat Rahwana tidak bisa mati dibunuh dan akan hidup selama-lamanya, segenap tipu daya yang masih saja perlu diungkapkan menunjukkan praktik kekuasaan zamannya, yang masih berlangsung setiap kali praktik semacam diceritakan ulang. Ini seperti pengungkapan kenyataan yang secara terselubung dimanfaatkan sebagai pelajaran. Ajaran moral tentu iya, ajaran politik kekuasaan adalah kenyataannya.

Politik bersifat agonistik-agresif maupun defensif-atau konfrontasional, karena dapat dipastikan sebagai perjuangan untuk berkuasa. Menurut teoretisi politik agonistik: kita harus menerima bahwa dalam khalayak pasca-tradisional, yang melibatkan berbagai kelompok etnik dan religius, ketidaksepakatan, konflik, dan perjuangan kuasa eksis, tak selalu bisa diatasi melalui dialog dan pendidikan (Oksala, 2013: 39). Jika Indonesia yang pasca-Nusantara cocok sebagai contohnya, mestilah disadari kehadiran politik Rahwana.

Lihat Juga


Terkait
  • Jangan Kampanye di Sekolah

    Jangan Kampanye di Sekolah

    21 menit lalu
  • Faedah dari Perhelatan Mahal

    Faedah dari Perhelatan Mahal

    21 menit lalu
  • Hadiah untuk Pelapor Korupsi

    Hadiah untuk Pelapor Korupsi

    1 hari lalu
  • Remaja dan Bencana

    Remaja dan Bencana

    1 hari lalu
  • Rekomendasi
  • Jangan Jadi Teror Baru

    Jangan Jadi Teror Baru

    23 hari lalu
  • Ratna - Galih, Cinta - Rangga, Milea - Dilan

    Ratna - Galih, Cinta - Rangga, Milea - Dilan

    14 Februari 2018
  • Gary Oldman dalam Tubuh Churchill

    Gary Oldman dalam Tubuh Churchill

    28 Januari 2018
  • Daoed Joesoef

    Daoed Joesoef

    28 Januari 2018

  • terpopuler
  • 1

    Masa Depan Hukuman Mati

  • 2

    Hoaks, G30S, dan Soe Hok Gie

  • 3

    Bencana

  • 4

    Pelajaran dari Kebohongan Ratna

  • 5

    Ujian Konsistensi KPK

  • Terkini
  • Hadiah untuk Pelapor Korupsi

    Hadiah untuk Pelapor Korupsi

    1 hari lalu
  • Remaja dan Bencana

    Remaja dan Bencana

    1 hari lalu
  • Jangan Berhenti pada Lucas

    Jangan Berhenti pada Lucas

    1 hari lalu
  • Ujian Konsistensi KPK

    Ujian Konsistensi KPK

    2 hari lalu
  • Masa Depan Hukuman Mati

    Masa Depan Hukuman Mati

    2 hari lalu
  • Bencana

    Bencana

    2 har i lalu
  •  Jangan Takut Naikkan Harga BBM

    Jangan Takut Naikkan Harga BBM

    3 hari lalu
  • Babak Baru Utang Negara

    Babak Baru Utang Negara

    3 hari lalu
  • Jebakan Hoaks Ratna Sarumpaet

    Jebakan Hoaks Ratna Sarumpaet

    3 hari lalu
  • Ketika Para Perempuan di Kursi Lelaki

    Ketika Para Perempuan di Kursi Lelaki

    3 hari lalu
  • Selengkapnya Grafis

    Fakta-Fakta Gempa Palu, Gunung Soputan, dan Cincin Api

    Gempa Palu sebesar 7,4 SR dan letusan Gunung Soputan merupakan bagian dari aktivitas Cincin Api yang membuat lempeng bumi terus bergeser.

    Sumber: Politik

    Tidak ada komentar

    Ads Place