Page Nav

HIDE

Ads Place

Cukup Sebut Warga Negara Saja

Kang Yayan DALAM konteks negara, setiap individu yang ada dalam satu konsep kenegaraan cukup disebut dengan menggunakan term warga nega...

Kang Yayan

DALAM konteks negara, setiap individu yang ada dalam satu konsep kenegaraan cukup disebut dengan menggunakan term warga negara saja. Kategorinya cukup politik kewargaan, bukan teologis atau yang dianggap seakan-akan sebagai teologis. Termasuk misalnya terhadap mereka yang menganut aliran kepercayaan.

Tak usah ada term dan kategori teologis, semuanya cukup disebut sebagai warga negara saja.

Penyebutan secara setara sebagai warga negara ini juga akan berimplikasi pada kesetaraan di depan hukum. Hukum harus tutup mata terhadap setiap latarbelakang primordialistik warga negara. Tak boleh ada diskriminasi pada latarbelakang apapun sehingga keadilan pada semua warga negara benar-benar terwujud. Di saat yang sama, hak dan kewajiban semua warga negara juga sama.

Menggunakan term dan kategori teologis--atau yang sekali lagi dianggap seolah-olah teologis--akan senantiasa problematis dalam politik kewargaan kontemporer (fiqh siyasah).

Secara epistemologis, term yang dinilai teologis akan senantiasa ada dalam kitab suci semua penganut keagaamaan. Selalu ada kelompok yang akan dikategorikan sebagai _the-other_.

Secara teknis pun, konsep negara-bangsa baru dikenal pada abad ke-17. Plus dengan segala tata-sistem dan term-term teknisnya.

Paling jauh, dalam  hal ini adalah seperti apa yang dilakukan madzhab modernis atau fundamentalis sekalipun, yang mencocok-cocokan istilah saja dengan argumestasi ushuliyah. Seperti konsep _trias-politica_ dengan _mitsaq al-madinah_.

Sepertinya hasil kajian NU memang keluar dalam konteks ketika berhadapan dengan kelompok _Takfiri_. Kelompok ini memang bukan hanya mengkafirkan yang berbeda agama, namun mengkafirkan mereka yang berbeda pemahamanan.

Genealogis takfiri ini sudah ada sejak zaman Nabi pada orang yang bernama Zul Khuwaishirah, yang kemudian terlembaga menjadi Khawarij.

Kelompok Khawarij ini disinyalir dalam sebuah hadits, adalah mereka yang senantiasa mulutnya mengeluarkan kalimat dari kitab suci, namun imannya cuma sampai kerongkongan.

Bila benar konteks ini, bahwa hasil kajian tersebut sebagai upaya menjaga negara (maslahat al-mursalat) atau dalam kerangka _sad al-dariah_ dari kekhawatiran perpecahan Republik, maka upaya NU ini layak diapresiasi. Meski secara wacana keagamaan, sebagaimana kata Mun'im Sirry, sebenarnya gak maju. Soal ini sudah dibicarakan jauh berpuluh tahun kebelakang ketika wacana Islam dan demokrasi berusaha dikompatibel-kan atau sebaliknya dipertentangkan.

Namun tentu saja, hasil kajian NU dalam hal menghidupkan kembali wacana-wacana keagamaan di ruang publik harus diapresiasi dengan setingi-tingginya. _Al-khitab al-dini_ harus terus diperbincangkan sebagai bagian dari salah satu pra-syarat pencerahan Islam.

Penulis : Yayan Sopyani Al Hadi ( ditulis khusus untuk koranmu.com

Tidak ada komentar

Ads Place