Suara bergemuruh sorak sorai dan tepuk tangan peserta mengiringi sang motivator berbicara menyemangati suasana. Suara tangisan t...
Suara bergemuruh sorak sorai dan tepuk tangan peserta mengiringi sang motivator berbicara menyemangati suasana.
Suara tangisan terisak-isak dari sebagian peserta jamaah pengajian mengiringi sang uztadz menyampaikan doa dengan khusu dan menyentuh hati.
Namun tidak sedikit orang karena lisannya membawa pada permusuhan, peperangan bahkan sampai saling melukai diantara mereka.
Islam mengajarkan pentingnya umat agar menjaga lisan. Ibarat menacapkan paku di dinding atau di kayu, niscaya paku yang sudah tertancap apabila dicabut pastilah meninggalkan bekas lubang, maka sebaik-sebaiknya untuk menutupi bekas lubang yang ditinggalkan pada akhirnya akan nampak meninggalkan bekas.
Begitu pula hati seseorang jika terluka akibat dari hardikan lisan yang tidak terjaga, tentu akan sulit dan tidak begitu saja bisa mudah disembuhkan dan akan meninggalkan bekas. Walaupun terkadang permintaan maaf dan menerima maaf telah dilakukan namun secara lahiriah terkadang sulit untuk dilupakan.
Dengan demikian menjadi hal penting buat kita menjaga dan menghindari perkataan dengan lisan yang sia-sia apalagi sampai menyakiti hati orang.
Suami istri berkata lisan dengan lembut dan kasih sayang diantara keduanya.
Orang tua berkata-kata lisan kepada anak-anaknya dengan penuh sayang dan mendidik.
Para pendidik dalam memberikan pengajaran dengan lisan menggunakan bahasa uswatun hasanah kepada anak didiknya. Dan lain-lain.
Rasulullah mengajarkan kepada kita agar dalam berkomunikasi dan berkata-kata lisannya hendaknya senantiasa mengandung nilai positif. Jika dirasa perkataan kita akan menimbulkan hal yang tidak berkenan kepada sesana maka hendaklah diam.
Namun dalam rangka tidak salah mengartikan diam maka perkataan lisan yang tegas dan mengandung makna upaya upaya pencegahan nahi munkar tetap diperlukan dan disampaikan.
Sebagaimana hadist: Barang siapa yang beriman dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata-kata dengan baik, atau hendaklah dia diam.
Momentum Ramadhan merupakan waktu yang tepat dalam rangka kita meningkatkan ibadah salah satunya adalah memperbanyak tadarus dan lisan kita senantiasa basah dengan menyebut kebesaran asma-asma Allah dan bersalawat kepada Nabi Muhammad.
Pendengaran kita senantiasa berkaitan pada hal-hal yang bermanfaat dalam kita meneguhkan dan mempertebal keimaanan kita.
Begitu pula dengan penglihatan kita yang senantiasa shaum terhadap yang bukan hak kita.
Hati yang senantiasa terpelihara dari kemurnian dan kebersihan dari penyakit hati serta tidak terbesit sedikitpun untuk menyekutui Allah SWT dari segala bentuk kehidupan duniawi.
Sungguh beruntung seorang muslim apabila menjalankan puasa maka seluruh tubuhnya turut serta ikut berpuasa termasuk lisannya tidak mengumbar pada pembicaraan yang mengandung ghibah dan namimah.
Sebagaimana menurut imam ghazali dalam kitab ihya ulumuddin bahwa tingkatan orang berpuasa dibagi atas tiga golongan yakni :
Golongan pertama adalah shaumul umum yakni orang berpuasa sebagaimana orang umum atau awam berpuasa dari tidak makan dan minum serta menahan syahwat saja,
Yang kedua adalah shaumul khusus yakni orang berpuasa selain menahan makan, minum dan nafsu syahwat namun dia juga berpuasa atas pendengaran, penglihatan, berucap yang baik-baik saja serta langkah gerak kaki selalu menuju pada kebaikan.
Dan yang ketiga adalah shaumul khususi bil khusus yakni berpuasanya orang-orang selain shaum pada semua yang di atas namun dia juga puasa hati dari segala pikiran yang membawanya pada kehinaan di hadapan Allah namun dia juga berpuasa atas nafsu duniawi baik jangka pendek maupun jangka panjang serta senatiasa berusaha menggindari pemikirannya selain hanya untuk Allah SWT, pada tingkatan puasa ini merupakan puasanya para walilullah dan puasanya para nabi.
Semoga puasa kita menuju pada tingkatan ketiga kalaupun tidak minimal tercapainya puasa kita pada tingkatan kedua Aamiin YRA.
Jakarta, Rabu (08/05/ 2019)
Penulis: Deni Nuryadin (Dosen FEB UHAMKA)
Tidak ada komentar