Tahun 2018 (PILKADA)) dan Tahun 2019 (PEMILU) adalah Tahun Politik. Pilkada maupun Pemilu sebagai pesta demokrasi pada dasarnya sebagai...
Tahun 2018 (PILKADA)) dan Tahun 2019 (PEMILU) adalah Tahun Politik. Pilkada maupun Pemilu sebagai pesta demokrasi pada dasarnya sebagai bentuk perwujudan kedaulatan rakyat dalam memilih pemerintahan daerah, wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 (UU No. 7 tahun 2017 dan UU No. 10 tahun 2016).
Cuaca perpolitikan Indonesia dalam atmosfir “demokrasi” yang menjadi kebanggaan Francis Fukuyama sebagaimana dalam tesisnya the of histrory and The Last Man (1999) −sistem pemerintahan yang terbaik dan sebagai pemenang −dalam konteks ke-Indonesia-an seakan menampakkan “cuaca buruk dan ekstrim”. Salah satunya relevan dengan pidato Haidar Natsir –Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada pembukaan Munas Tarjih Muhammadiyah XXX (2018) − yang menyoroti tentang politik uang agar tidak dipahami dalam perspektif fenomena “hilir”, tetapi perlu dipahami secara komprehensif dan sampai pada kesimpulan bahwa “Demokrasi kita sebenarnya sudah matang, tetapi aktornya belum Akil Baligh”.
Baik Pilkada maupun Pemilu, pada dasarnya ada tiga aktor utama yang berperan penting yakni Pertama, Penyelenggara Pemilu: KPU dan Bawaslu dan Jajarannya sampai ke Tingkat TPS serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Kedua, Pemilih dan Ketiga, Peserta Pemilu (Paslon, Parpol dan Perseorangan).
Tulisan ini fokus pada dua aktor utama untuk mewujudkan demokrasi yang lebih baik, baik secara formal maupun substansial: Penyelenggara Pemilu dan Pemilih. Integritas Penyelenggara Pemilu dan Nalar Kritis Pemilih sebagai titik berangkat dan faktor signifikan untuk mewujudkan demokrasi yang lebih baik. Peserta Pemilu (Paslon, Parpol dan Perseorangan)?. Dalam cuaca perpolitikan dan atmosfir demokrasi di Indonesia, telah menenggelamkan bangsa ini untuk jauh dari harapan kehidupan yang lebih baik, rakyat telah terseret jauh ke dalam muara rasa pesimis yang akut. Sikap dan tindakan para elit Partai Politik dalam atmosfir demokrasi menampakkan cuaca buruk dan ekstrim : demokrasi mengalami transformasi ke oligarki, sendi – sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dikuasai oleh segelintir orang, pemilik modal untuk dipergunakan sebesar- besarnya bagi kepentingan pribadi, keluarga dan golongannya. Padahal secara substansial, sejatinya demokrasi mampu mengakselerasi kesejahteraan rakyat selaku pemilik kedaulatan tertinggi, namun nyatanya salah satunya, angka – angka kemiskinan tidak bergeser dari data statistik menuju posisi yang relatif lebih baik. Indonesia hanya menjadi “kue” terlezat bagi Asing dan Aseng.
Melalui Pilkada dan Outcome Pemilu 2014, saya menarik hipotesis bahwa Peserta Pemilu sebagai salah satu aktor utama dalam pesta demokrasi jauh dari harapan untuk mewujudkan demokrasi yang lebih baik dan untuk melahirkan outcome yang mampu mewujudkan harapan besar sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945. Dan bagi saya ini menodai “Nalar Kebangsaan”.
Ditengah kondisi kebatinan dan psikologi bangsa pada rasa “pesimis yang akut”, Integritas Penyelenggara Pemilu dan Nalar Kritis Pemilih menjadi solusi.
Integritas Penyelenggara Pemilu sebagai akumulasi dan kesatupaduan sikap, pemikiran dan karakter penyelenggara bukan hanya diukur berdasarkan syarat administratif dan pemahaman kode etik penyelenggara secara regulatif tetapi sebuah kondisi psiko-religius yang berangkat dari alam kesadaran, sepenuh jiwa, hati dan pikiran untuk mengedepankan : kejujuran, independensi, tanggungjawab dunia – akhirat, tiga etos kerja (kerja keras, kerja cerdas dan kerja ikhlas), visi dan harapan demokrasi yang lebih, serta komitmen dan konsistensi pada sumpah dan janji jabatan serta niat kuat untuk tetap menjunjung tinggi nalar kebangsaan, nilai –nilai religius – transendental, serta nilai –nilai universal dan kearifan lokal.
Nalar Kritis Pemilih adalah menjadi bagian penting untuk mewujukan proses demokrasi dan outcome (baca :wakil rakyat dan pemerintahan) yang mampu mencapai dan mewujudkan cita – cita dan tujuan nasional : melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; dan ikut melaksanakan ketertiban dan perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Nalar Kritis Pemilih adalah sebuah nalar yang berangkat dari kesadaran, hasil pembacaan filosofis dan ideologis serta dorongan intuitif berbasis pada spritual-religius dengan pertimbangan matang yang dikorelasikan pada nilai –nilai tauhid sosial dan kesadaran kebangsaan untuk kemudian ditarik relasi positifnya terhadap rekam jejak, integritas, modal dan investasi sosial, latar belakang peserta pemilu sebelum pemilih menjatuhkan pilihan pada peserta pemilu tertentu. Nalar kritis ini bisa menjadi filter dan benteng pertahanan nafsu ditengah kondisi kehidupan yang serba pragmatis dan materialistik serta demokrasi transaksional yang cenderung memberikan akibat lanjutan menentukan pilihan hanya pada pertimbangan – pertimbangan dangkal dan besarnya nilai rupiah.
Rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam berbangsa dan bernegara, jangan hanya menjadi akumulasi nominal nilai suara yang dikapitalisasi untuk selanjutnya dikonversi menjadi kursi empuk bagi segelintir sosok yang tidak memiliki kepedulian, rakus dan punya libido kekuasaan tak terbatas.
Untuk merekonstruksi integritas Penyelenggara Pemilu dan nalar kritis Pemilih ini membutuhkan proses yang cukup matang, terencana, sistematis, terarah, berkelanjutan dan berkesinambungan. Institusi agama, sosial dan pendidikan salah satunya diharapkan untuk merekonstruksi bangunan mental tersebut. Diskursus Civil Society dalam perspektif barat dan masyarakat madani dalam perspektif Muhammadiyah salah satunya, menjadi bagian penting dalam merekonstruksi bangunan mental tersebut tanpa kecuali untuk mewujudkan kehidupan demokrasi substansial.
Penulis : Agusliadi Ketua Pimpinan Daerah Pemuda Muhammadiyah Bantaeng
Tidak ada komentar