Esensi Mudik Lebaran Minggu terakhir bulan Ramadhan merupakan hari- hari penuh kesibukan bagi masyarakat Indonesia yang beragama Is...
Esensi Mudik Lebaran
Minggu terakhir bulan Ramadhan
merupakan hari- hari penuh kesibukan bagi masyarakat Indonesia yang beragama
Islam. Mendekati hari hari raya Iedul Fitri aktifitas secara massif terjadi di
mana- mana. Hal ini merupakan kesibukan berulang setiap tahun. Berdasarkan data
sensus tahun 2010 yang dilakukan oleh badan pusat statistic /BPS jumlah pemeluk
agama Islam merupakan mayoritas yaitu 87% atau 207.176.162 orang. Dapat
disaksikan dimana- mana di seluruh daerah mempersiapkan edisi mudik untuk
memfasilitasi umat muslim melakukan tradisi tahuan “mudik lebaran” sebaik
mungkin. Seolah-olah terdapat energi dasyat yang menggerakan massa secara
spontan seperti tarian “flash Mob” tanpa komando mempersiapan momen khusus
mudik lebaran.
Bagi masyarakat urban yang tinggal
di perkotaan, mudik lebaran merupakan waktu khusus untuk bersilaturahmi dengan
keluarga besar di kampung halaman setelah setahun lebih meninggalkan keluarga
untuk mencari penghidupan yang lebih menjanjikan di kota.
Tak hanya orang dewasa saja yang
terlibat dalam kegiatan mudik. Anak- anakpun bersama orangtuanya asyik dengan
dengan aktifitas ini. Berdesakan di dalam kereta, berjam- jam di dalam mobil
dan bus menuju daerah asal, saling sikut menyikut untuk sampai ke dalam kapal
fery ataupun melenggang santai dalam kenyamanan pesawat udara menempuh
perjalanan demi satu tujuan yaitu keluarga di kampung halaman. Wakil Ketua Umum
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Amlir Syaifa Yasin menjelaskan bahwa
esensi tradisi mudik tahunan ini tidak lain adalah untuk bersilaturrahmi kepada
sanak keluarga. Tradisi ini menjadi mementum agar warga kota tidak lupa
terhadap keluarganya.
Hingar bingar aktifitas mudik
lebaran akan sia- sia jika rutinitas tahunan tidak diimbangi dengan
internalisasi karakter pada anak. Mudik lebaran sebagai ajang silaturahmi
dipandang penting untuk dipertahankan sebagai adat budaya masyarakat Indonesia
di era Revolusi indistri 4.0 yang menekankan pada pola digital economy,
artificial intelligence, big data, robotic, dan lain sebagainya atau dikenal
dengan fenomena disruptive innovation. Hal ini telah diramalkan oleh John
Naisbitt (1982) bahwa dunia akan memasuki era tanpa batas “Border Less”dengan
kelincahan jari jemari mengoperasikan gadget semua dapat tersambung dengan
sanak keluarga tanpa bersua. Ucapan saling bermaafan cukup dilakukan dengan
mengetik bahkan yang penulis amati, tulisan ucapan tersebut merupakan copypaste
dari ratusan ucapan selamat hari raya Iedul Fitri yang terus mengalir melalui
media social online. Menghadapi kemajuan tantangan tersebut, tidak mustahil
lambat laun silaturahmi sebagai sarana untuk mengeratkan sosial interaksi
“hablumminnans” untuk mengembangkan karakter niscaya lambat namun pasti menuju
pada bergesernya cara komunikasi dengan sesamanya. Tidak heran jika era digital
informasi ditemui anak- anak yang bersikap kurang santun kepada orangtuanya,
berbicara kasar, kurang peduli dengan sesama bahkan menjadi penonton adegan
kekerasan yang dilakukan oleh teman sekelasnya tanpa mampu bertindak untuk
melerei. Selain itu anak zaman now tidak mengenal tarian daerah di negerinya
sendiri, tidak mengetahui kekhasan budaya, bahasa dan makanan. Menyikapi
dekadensi moral yang terjadi saat ini, maka mudik lebaran dapat dimanfaatkan
sebagai aktifitas membangun karakter anak untuk mengenali budaya dan adat
istiadat luhur asalnya.
Makna Iedul Fitri
Sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya, Iedul Fitri selalu hadir setiap tahun di akhir bulan suci Ramadhan.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah sudah benarkah sikap dan cara kita selama
ini dalam memaknai, menyambut dan merayakan Idul Fitri? Pertanyaan ini harus
menjadi bahan perenungan dan muhasabah (kontemplasi diri) kita setiap saat
menjelang hari raya Iedul Fitri. Khususnya karakter apa yang kita tanamkan
kepada anak dalam memaknai hari raya ini. Syi’ar dan Hari-nya Allah Idul Fitri
dan Idul Adha adalah dua hari raya dalam Islam yang ditetapkan langsung oleh
Allah sebagai pengganti hari-hari raya yang pernah dikenal oleh masyarakat Arab
sebelum Islam datang (HR An-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibnu Hibban). Maka Idul Fitri
– dengan demikian – merupakan salah syi’ar dan hari-nya Allah yang harus kita
sambut dan rayakan dengan sikap penuh rasa ibadah, pemuliaan dan pengagungan –
dalam batas-batas koridor syar’i – sebagai bukti ketaqwaan hati kita. Allah
Ta’ala berfirman (yang artinya),”Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar
Allah maka sesungguhnya itu termasuk (bukti dan wujud) ketaqwaan hati” (QS
Al-Hajj : 32). Dan sebaliknya kita tidak boleh menyambut dan merayakannya
dengan cara-cara yang justru menjauhkan diri kita dari Allah dan hati kita dari
ketaqwaannya.
Character Building
Anak Kata karakter berasal dari
Yunani, charassein yang berarti mengukir sehingga membentuk sebuah pola. Dengan
pengertian lain, karakter yang baik adalah tidak secara otomatis dimiliki oleh
setiap manusia begitu dia dilahirkan, tetapi memerlukan proses yang panjang
melalui pengasuhan dan pendidikan (proses “pengukiran”). Berbicara mengenai
karakter di dalamanya ada ajaran moral, dan standar moral dan ada juga
pertimbangan moral atau nilai yang menjadi komponen- komponen karakter seperti
yang diungkapkan oleh Hurlock; a pattern of inhibitory conditioning (sebuah
kebiasaan pelarangan). Hal ini dapat dimaknai yaitu keselarasan individu dengan
pola- pola sosial tempat individu itu hidup sebagai hasil dari control hati
nurani terhadap tingkah laku individu. Karakter dan ahlak keduanya
didefinisikan sebagai suatu tindakan yang terjadi tanpa ada lagi pemikiran lagi
karena sudah tertanam dalam pikiran, dan dengan kata lain, keduanya dapat
disebut dengan kebiasaan. Selanjutnya Lickona (1991) mengatakan karakter adanya
korelasi tiga hal yaitu moral knowing, moral feeling, dan moral behavior yang
mengandung nilai karakter antara lain: mengetahui hal-hal yang baik, memiliki
keinginan untuk berbuat baik, dan melaksanakan yang baik berdasarkan atas
pemikiran, dan perasaan apakah hal tersebut baik untuk dilakukan atau tidak,
kemudian dikerjakan. Ketiga hal tersebut dapat memberikan pengarahan atau
pengalaman moral hidup yang baik, dan memberikan kedewasaan dalam bersikap.
Dalam kaitannya dengan penanaman
nilai karakater, maka waktu yang tepat ialah dimulai sejak anak usia dini.
Karena anak usia dini merupakan masa-masa awal perkembangan yang tepat untuk
diberikan pendidikan karena berada dalam masa keemasan (The Golden Age).
Benyamin S. Bloom, profesor ilmu pendidikan Universitas Chicago mengatakan,
orangtua mempunyai tanggung jawab utama dalam mendidik anak- anak di bawah umur
enam tahun. Bagi anak usia dini penanaman nilai-nilai karakter yang paling
efektif ialah melalui kegiatan bermain yang menyenangkan. Mudik lebaran
meskipun melelahkan namun menggembirakan bagi anak. Dengan kondisi demikian
orangtua dapat menanamkan karakter positif sabar, survive di tengah dahaga dan
lapar. Malam terakhir Ramadhan anak dikenalkan dengan empati atau peduli sesama
dengan membayar zakat fitrah.
Saat Iedul Fitri tiba gema takbir
mengumandangkan kebesaran Allah SWT, selepas shalat ied seluruh umat muslim
tua, muda dan anak- anak saling bermaaf- maafan, berkunjung ke rumah tetangga
maupun family. Anak belajar langsung dalam situasi nyata melalui interaksi
social yang dibangun oleh orangtua sebagai role model melalui mudik lebaran di
kampung halaman. Anak diperkenalkan dengan multikultural ragam adat dimana Ia berasal
dengan hidangan khas yang disajikan saat iedul fitri, mengenal tempat rekreasi
setempat serta mengenal beberapa kata dalam Bahasa daerah. Dengan demikian anak
belajar melalui pengalaman konkrit dan menyenangkan hingga membekas immersion
yang dalam dalam dirinya.
Mudik lebaran merupakan tradisi
yang diwariskan secara turun temurun yang berlaku pada sebagian besar
masyarakat Indonesia. Sebagai salah satu budaya tahunan mengandung values
(nilai) yang tidak dimiliki oleh negara lain di dunia sebagai sarana untuk
membangun karakter anak. Menjadi tanggung jawab semua pihak diantara tiga
komponen tripusat pendidikan yang dikemukan oleh Ki Hajar Dewantara untuk
membangun karakter anak dimulai dari keluarga, sekolah dan lingkungan. Kontrol
Pendidikan yang memungkinkan dapat dimulai dari keluarga dan sekolah. Peran
lingkungan masyarakat sulit terjangkau dengan kemajuan tehnologi informasi yang
serba digital. Oleh karena itu orangtua sebagai guru pertama dan utama dalam
keluarga yang seharusnya memiliki peran sentral untuk menanamkan karakter pada
anak dalam rangka menyiapkan generasi millennial memasuki era revolusi industri
4.0 melalui kegiatan mudik lebaran. Bertatap muka, berjabat tangan dalam
situasi yang sebenarnya dengan mengabaikan dunia maya dalam sekejap. Melalui
mudik lebaran tanpa disadari orangtua membangun silaturahmi berkualitas,
sehingga tercetak generasi milenial cerdas, menguasai tehnologi informasi namun
tidak melupakan adat budaya yang multicultural dan memiliki karakter kuat
tertanam dalam individu sebagai fondasi awal yang kokoh. Generasi milenial
dengan karakter kuat yang akan mengisi negara dengan inovasi kekinian, seiring
bergesernya era demi era sebagai penerus bangsa dalam membangun negara namun
tidak melupakan budaya luhur yang diwariskan dan dijalankan lintas generasi.
Generasi milenial dengan karakter kuat seperti inilah yang layak, terus menerus
dibangun oleh semua pihak. Generasi emas ini akan dipanen 20 tahun ke depan
sebagai bentuk investasi yang akan membawa Indonesia sebagai negara bermartabat
dan berbudaya di dunia internasional.
Selamat hari Raya Iedul Fitri
1439 H
Mahon maaf lahir dan bathin
Penulis: Susianty Selaras Ndari
(Dosen FKIP PG-PAUD UHAMKA)
Tidak ada komentar