Page Nav

HIDE

Ads Place

STATE CAPTURE

Saya tergelitik pada data KPK (2018) yg menyebutkan, biaya pemilihan kepala daerah sangat fantastis. Rerata Rp20-30 milyar untuk...






Saya tergelitik pada data KPK (2018) yg menyebutkan, biaya pemilihan kepala daerah sangat fantastis. Rerata Rp20-30 milyar untuk kabupaten/kota dan Rp20-100 milyar untuk Gubernur. Besarnya biaya itu, tentu memerlukan donatur kakap. Terkonfirmasi bahwa, 71,3% mengakui donatur mengharapkan balasan jika calon kepala daerah menjabat dan 82% menyatakan, sebagian besar calon kepala daerah akan memenuhi harapan donatur. Tiga harapan utama donatur adalah, keamanan berbisnis, perizinan usaha, dan kemudahan ikut tender.  Tentunya, para donatur itu akan menentukan kebijakan pemerintah daerah. Inilah state capture yg telah memakan banyak korban.

Jika dalam skala daerah saja biaya politiknya sdh sedemikan fantastisnya, bagaimana kalau skala kontestasi pemilihan Presiden dan Wapres? apa kita menganggap sebagai business as usual? Fakta ini menegaskan bahwa kita semua adalah korban liberalisasi politik dan ekonomi. Bahkan bukan sekadar korban, malah kita ikut men-drive liberalisasi itu, sebagian ikut menikmati dgn dalih demokratisasi. Sejatinya, pangkal ketimpangan sosial ekonomi adalah liberalisasi.

Saya yakin, kontestasi pemilihan Presiden dan Wapres 2019, akan memakan biaya puluhan triliun rupiah. Siapa yg akan membiayai itu semua? Tentu donatur kakap, yang saat prosesi kampanye, terlihat diam seribu bahasa alias silent operation. Mereka akan menyetor dana-dana kakapnya. Menempatkan dananya di dua kaki. Donatur inilah yg sejatinya jadi penguasa, yg akan menentukan hitam-putihnya negeri ini ke depan. Sementara massa rakyat, yg terpolarisasi dalam dua kubu, saling berantem dan melempar fitnah. Yang aneh bin ajaib, elit politik dan partisipan dua kandidat, menjual  bahasa-bahasa identitas, bahasa agama, ras, suku, dll,. Itulah kepandiran kita . Para politisi berebut kuasa, sementara rakyat diajari beradu dgn dibantu media sosial dan elektronik. Apakah ini yang namanya dungu, bego alias tolol? Saya kurang paham! Wassalam

Mukhaer Pakkanna

(STIE Ahmad Dahlan Jakarta)

Tidak ada komentar

Ads Place