Paryanto (penikmat budaya lokal) Rabu malam tanggal 31 Oktober 2018 Gedung Pusat Dakwah Jalan Menteng Raya 62 yang biasanya sepi di m...
![]() |
Paryanto (penikmat budaya lokal) |
Rabu malam tanggal 31 Oktober 2018 Gedung Pusat Dakwah Jalan Menteng Raya 62 yang biasanya sepi di malam hari mendadak berubah dari biasanya. Halaman parkir yg biasanya lengang dari kendaraan mendadak ramai. halaman parkir yg biasanya hanya terdapat satu atau dua mobil operasional Muhammadiyah dan Lazismu mendadak pula dihiasi oleh beberapa mobil Mercy "S" series. Ya. Memang pada malam tersebut PP Muhammadiyah mendapat rombongan tamu penting: elit pimpinan organisasi Pengurus Besar Nahdhotul 'Ulama.
Untuk menghormati tamu penting tersebut PP Muhammadiyah menyediakan makan malam dengan menu nasi liwet khas Solo.
Peristiwa makan malam antara PP Muhammadiyah dengan PBNU mendapatkan sorotan dan apresiasi yang cukup dari publik. Menurut Saya pertemuan tersebut sungguh menarik karena pada satu sisi sang tuan rumah menghormati tamu dgn makan malam bersama dengan menyuguhkqn menu nasi liwet. Sementara pada sisi lain rombongan tamu hadir dengan ke daraan terbaik yang mereka punya. Sungguh menarik utk menelisik filosofi nasi liwet. Menarik bukan karena parkiran Pusat Dakwah Muhammadiyah yang mendadak seperti showroom mobil mewah tapi justru pesan yg terkandung dari kuliner Nasi liwetnya.
Nasi liwet ternyata sejak dulu memang sudah termasuk kuliner khas padalaman, tatkalah kerajaan Solo masih berjaya. Perjalanan wisata kuliner nasi liwet bergerak di dalam ruang yang berbeda dari masa ke masa, Nasi liwet sanggup bertarung di tengah arus kuliner beraroma modern. Kuliner lawas yang sederhana, sesederhana nasi liwet tidak kalah dengan kuliner yang dikemas mewah. Kontras sekali bukan? Nasi liwet menyampaikan pesan kesederhanaan dan kosmopolitan pada tamu yang hadir berkemdarakan Mercy terbaru "S" Series. Nasi liwet mampu menerabas batas dan sekat-sekat sosial baik kaya-miskin, pribumi-nonpribumi,dari orang kantoran hingga jalanan. Nasi liwet yang ikoneksitas pada kesederhanaan begitu elegan dan nendang ketika dinikmati para owner mobil mewah.
Didalam budaya Jawa, Nasi liwet mempunyai banyak makna. Menurut Mardiwarsito dalam buku Peribahasa dan Saloko Bahasa Jawa (1980), Nasi (bahasa Jawa: sego, sekul) sangat kaya pesan dan makna yg menjelaskan beberapa pesan kultural tentang nasi (sego, sekul). Bisa di contohkan, bahwa sekul pamit (nasi berpamit), yakni terlambat mengerjakan sesuatu dan tidak memperoleh upahnya. Suatu ajaran bagi kita tentang pentingnya kedisiplinan. satu hal yang utama dari nilai kedisiplinan adalah komitmen padq nilai. Hal yang lain adalah kedisiplinan dalam menertibkan dan menyesuaikan antara ucapan dan tindakan. Sekul urug (nasi timbunan) yakni segala sesuatu yang tiada faedahnya. Menimbun dengan nasi sama saja tindakan bodoh, bakal sia-sia karena akan lenyap. Harta dan kendaraan mewah hanya sesaat karena ia akan lenyap.
Beberapa pesan dan makna dari sepincuk nasi ini menggambarkan luasnya implikasi atau efek sosial-kultural kedekatan manusia Jawa dengan nasi, bagian primer dari nasi liwet. Ekspresi kultural tersebut mengajarkan keutamaan hidup manusia tidak hanya urusan makan (muluk), namun juga mengungkap nilai-nilai lain yang kudu dijunjung yaitu terkait tindakan manusia dalam melakoni hidup dan kehidupan. Menikmati kuliner khas Nusantara seperti nasi liwet tanpa beralas piring yang biasanya disantap dengan duduk lesehan sama sekali tidak akan melunturkan derajat dan harga diri kita sebagai sebuah bangsa.
Dengan menyuguhkan nasi liwet secara simbolik sebenarnya Muhammadiyah sedang menyampaikan pesan lewat simbol-simbol semiotik yang terepresentasikan dalam suguhan nasi liwet. Sesuai dengan karakter Muhammadiyah yg terus mencerahkan dan konsisten dalam ber amar ma'ruf nahi munkar ternyata Muhammadiyah semakin artikulatif dalam menyampaikan pesan dakwahnya. Suguhan nasi liwet secara kasat mata adalah pilihan cara Muhammadiyah utk mengingatkan "saudara" mudanya dengan cara yang elegan dan sarat dimensi kultural.
Penulis : Paryanto (penikmat budaya lokal)
Tidak ada komentar