Krisis finansial yang terjadi sejak tahun 1997 menyebabkan Ekonomi Indonesia melemah, bahkan mengalami keterpurukan. Dampak dari kris...
Krisis finansial
yang terjadi sejak tahun 1997 menyebabkan Ekonomi Indonesia melemah,
bahkan mengalami keterpurukan. Dampak dari krisis tersebut tidak hanya dirasakan dalam bidang ekonomi saja,
bidang-bidang kehidupan lainpun telah terdampak dari krisis yang
terjadi pada dekade tersebut.
Gerakan Reformasi kemudian lahir sebagai jawaban atas krisis
yang melanda tersebut. Tuntutan utama para
demonstrasi adalah perbaikan dalam bidang ekonomi dan reformasi secara total
unsur penyelenggara negara. Krisispolitik, ekonomi,
hukum dan krisis sosial merupakan faktor yang mendorong lahirnya gerakan reformasi.
Bahkan, krisis kepercayaan telah menjadi salah satu indikator yang
menentukan gelombang besar gerakan reformasi yang dinilai tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Karena itu, hampir seluruh rakyat Indonesia
mendukung sepenuhnya gerakan reformasi ini.
Meskipun dalam gerakan tersebut menuntut perbaikan dalam bidang ekonomi,
namun yang luput dari pandangan adalah proses pembangunan bangsa. Pembangunan
Bangsa menjadi wacana nasional pemerintah orde baru yang dikenal dengan program
“Repelita” (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Meskipun Presiden Soeharto secara legowo menerima gerakan reformasi dan turun dari jabatannya sebagai Presiden,
namun hanya dengan syarat proses pembangunan harus tetap berjalan. Dengan demikian,
artinya pemerintah orde baru telah merancang konsep masa depan untuk program
pembangunan bangsa.
Ada
beberapa hal menarik yang harus dilihat dari proses
pembangunan bangsa zaman orde baru dengan sekarang, yaitu logika pembangunan.
Menurut penulis, logika pembangunan era orde baru dengan sekarang adalah sama,
yaitu sama-sama menggunakan pendekatan The stages of economic growth ala
W.W. Rostow.
Dalam teori tersebut,
Rostow menjelaskan bahwa pembangunan atau modernisasi merupakan proses bertahap, dimana masyarakat akan berkembang dari masyarakat tradisional dan berakhir pada tahap masyarakat dengan konsumsi tinggi.
Pembangunan ekonomi atau transformasi suatu masyarakat tradisional menuju masyarakat
modern merupakan suatu proses yang multidimensional.
Dimana perubahan ini bukan hanya bertumpu pada perubahan ekonomi dari agraris ke industri saja,
melainkan pula perubahan pada bidang sosial, budaya, politik, ekonomi, bahkan
agama.
Melihat reaksi dari
proses pembangunan baik yang sedang berjalan sekarang maupun pada masa orde baru,
memang diakui bahwa pembangunan tersebut berjalan secara signifikan sesuai dengan apa
yang di rencanakan. Akan tetapi ada beberapa hal yang harus di evaluasi dari proses
pembangunan tersebut.
Menurut penulis,
proses pembangunan tidak hanya diprioritaskan pada pembangunan infrastruktur yang
terlihat secara fisik semata, akan tetapi pembangunan jiwa dan mental
masyarakat untuk menuju tahap akhir dari teori Rostow harus juga di imbangi. Hal
tersebut diperlukan guna memberikan kesadaran secara psikologis kepada masyarakat untuk menghadapi kemajuan zaman.
Tidak bisa dipungkiri bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia
masih buta terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat ini.
Selain itu,
proses pembangunan ini harus juga merata dan dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat,
agar tidak terjadi disintegrasi. Meskipun sudah diterapkan sistem desentralisasi,
akan tetapi hal tersebut perlu dikaji kembali oleh pemerintah pusat, sebab sumber daya,
tingkatan ekonomi dan pendapatan masing-masing daerah itu berbeba-beda. Hal
tersebut diperlukan agar
masyarakat tidak kaget ataupun terkejut dengan berbagai tantangan yang akan dihadapi.
Perlu disadari bersama, bahwa Indonesia
pada hari ini tengah berada pada percaturan politik Internasional yang
mendorong hasilnya kepada mekanisme pasar. Kehadiran MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN)
yang menggantikan ASEAN Free Trade Area (AFTA) 2015 lalu menjadi bukti bahwa kurangnya kesadaran sekaligus kesiapan baik pemerintah maupun masyarakat untuk menghadapi gelombang besar perubahan ekonomi
global. Maka jangan heran kemudian kenapa akhir-akhir ini muncul kebijakan yang dinilai merugikan rakyat, seperti Perpres no. 20 tentang TKA, itu adalah salah satu imbas dari ke-tidaksiap-an
kita dalam menghadapi MEA. Padahal ASEAN Community sudah di bentuk sejak 2003
silam dengan tiga pilar utamanya yaitu, ASEAN Economic Community, ASEAN Security
Community, danASEAN Socio-Cultural Community.
Pertanyaannya sudah siapkah kita untuk menghadapi dua pilar selanjutnya?
Mengevaluasi dari
program MEA tersebut,
maka harus ada upaya pendidikan sekaligus penyadaran dari pemerintah terkait dengan persoalan
bilateral negara, bukan hanya sebatas sosialisasi semata. Hal
tersebut harus intens dilakukan supaya masyarakat Indonesia
bisa benar-benar paham dengan segala macam kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.
Apalagi Indonesia diprediksi akan menjadi bagian dari kekuatan ekonomi ASEAN
bahkan dunia dengan bonus demografisnya di tahun 2030 mendatang.
Selain dari segi pembangunan,
hal menarik selanjutnya adalah pelaksanaan demokrasi. Menurut penulis,
wujud dari perayaan dan pelaksanaan reformasi birokrasi adalah meningkatnya kualitas demokrasi
yang lebih dewasa dan mapan. Demokrasi yang
dalam teorinya kita kenal dengan istilah dari, oleh, dan untuk rakyat, namun dalam tatanan praktek tidak berjalan seperti demikian.
Sejauh yang bisa kita rasakan bahwa kehadiran demokrasi hanya pada saat pesta momentum
lima tahun sekali. Ini menunjukkan bahwa pendidikan politik maupun demokrasi di
Indonesia masih sangat jauh dari apa yang diharapkan.
Sejauh yang
bisa kita lihat bahwa kekuatan politik partai yang
tergabung dalam koalisi hanya menyusun strategi untuk memikat hati rakyat,
sementara nilai-nilai pendidikan demokrasi yang
adil dan beradab serta menjunjung tinggi nilai epistimologi manusia hanya menjadi wacana
‘onani’ intelektual semata. Hal inilah yang
kemudian menyebabkan kondisi politik dan demokrasi pasca reformasi ini berada pada resiko ketidakpastian dan selalu saja berunsur pertarungan.
Perjalanan panjang demokrasi
Indonesia memang menjadi sebuah catatan penting untuk selalu dipertimbangkan, sebab rintisan perubahan baik radikal maupun
gradual
harusnya dapat memberikan pemahaman kolektif terhadap masyarakat dengan segala perhitungan,
taktik dan strategi untuk mencapai suatu perubahan.
Untuk itu, dalam
momentum 21 tahun reformasi ini, mari sama-sama kita kawal proses pembangunan bangsa,
baik dari segi infrastruktur, perkembangan kehidupan demokrasi,
dan lebih-lebih pada pembangunan jiwa dan mental generasi-generasi yang
diramalkan menjadi penggerak utama kemajuan bangsa dengan bonus demografisnya nanti.
Sebab generasi-generasi inilah yang akan mengisi setiap post-post
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Jangan sampai dengan adanya
bonus demografis tersebut malah menjadi musibah bagi bangsa Indonesia
dengan semakin meningkatnya pengangguran dan hutang negara akibat dari tingginya nilai konsumeristik masyarakat.
Perjuangan belum berakhir,
pembangunan bangsa belum selesai.
Penulis:
Hikmatullah
Aktivis IMM Jakarta Selatan
email: sangbima1023@gmail.com
Aktivis IMM Jakarta Selatan
email: sangbima1023@gmail.com
Tidak ada komentar