Amanat Kurikulum Kurikulum Pendidikan Tinggi di era industry 4.0 mengamanatkan bahwa kurikulum harus mampu memfasilitasi mahas...
Amanat
Kurikulum
Kurikulum Pendidikan Tinggi di era industry 4.0
mengamanatkan bahwa kurikulum harus mampu memfasilitasi mahasiswa untuk bisa
berpikir tingkat tinggi (Kemenristekdikti, 2018 hlm.10).
Kecakapan
Berfikir Tingkat Tinggi atau Higher Order
Thinking Skills (HOTS) mengarah pada kemampuan untuk menerapkan
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dalam penalaran, refleksi, pemecahan
masalah, pengambilan keputusan, berinovasi dan menciptakan hal-hal baru (Kusuma
et al., 2017; Sulaiman et al., 2017;
Abdullah et al, 2017; Hugerat & Kortam, 2014). Ada
sebuah kata kunci yang menarik pada HOTS yakni thinking (berpikir). Berpikirpun dalam dunia pendidikan memiliki
banyak jenis. Berpikir logis, berpikir kritis, berpikir kreatif, serta ada pula
berpikir reflektif. Namun dari banyak literature disebutkan bahwa seseorang
yang sudah sampai pada berpikir reflektif pasti juga sudah melewati tahap
berpikir logis, kritis dan kreatif karena berpikir akan sampai pada ujungnya
yakni memperoleh kesimpulan.
Berpikir merupakan proses yang didalamnya terjadi proses
mengaitkan informasi sebelumnya yang sudah diperoleh dengan informasi baru yang
diterima, sehingga proses berpikir reflektif ini dipengaruhi oleh pengetahuan
awal seseorang (prior knowledge).
Ketika berpikir seseorang akan me-retrieve informasi – informasi yang sudah
dimiliki yang terkait permasalahan yang sedang dipikirkannya. Semakin lengkap
informasi yang sudah dimiliki (prior
knowledge) yang terkait dengan permasalahan yang sedang dipikirkannya akan
semakin cepat atau sempurna solusi permasalahan tersebut sebagaimana yang
diharapkan. Begitu pentingnya berpikir sehingga dua
institusi negara yakni KEMENRISTEKDIKTI maupun KEMDIKBUD mengamanatkan untuk siswa maupun mahasiswa
agar dapat mengembangkan kemampuan berpikirnya. Maka selayaknyalah pembelajaran
juga diarahkan agar bisa memfasilitasi kemampuan berpikir siswa maupun
mahasiswa.
Pembelajaran
Metakognitif dalam Setting Kolaboratif
Salah satu pendekatan
pembelajaran yang bisa mengakomodir
kemampuan berpikir reflektif tersebut adalah pembelajaran metakognitif (Schoenfeld,
1992 dan Nurkaeti, Turmudi dan Karso 2019). Metakognitif merupakan
kata sifat dari metakognisi, yang dalam bahasa Inggrisnya berasal dari kata “metacognition” dengan prefik “meta” dan
kata “kognisi”. Meta berasal dari bahasa yunani yang berarti setelah, melebihi
atau diatas. Kognisi dapat diartikan sebagai apa yang diketahui atau apa yang
dipikirkan oleh seseorang. Gambaran klasik mengenai kognisi meliputi “Higher mental processes” seperti
pengetahuan, kesadaran, intelensi, pikiran, imajinasi, daya cipta, perencanaan,
penalaran, penyimpulan, pemecahan masalah, pembuatan konsep, pembuatan
klasifikasi-klasifikasi atau kaitan-kaitan, pembuatan symbol – symbol dan mungkin
juga fantasi serta mimpi. Metakognsi mengacu pada kesadaran peserta didik
terhadap kemampuan yang dimilikinya serta kemampuan untuk memahami, mengontrol,
dan memanipulasi proses – proses kognitif yang mereka miliki.
Berdasarkan
karakteristik bahwa proses yang dilakukan berupa tindakan untuk menyadarkan
kemampuan kognitif peserta didik, maka proses ini merupakan keterampilan
metakognitif. Peserta didik dipandu untuk dapat menyadari apa yang mereka
ketahui dan apa yang mereka tidak ketahui serta bagaimana mereka memikirkan hal
tersebut agar dapat diselesaikan. Metakognitif
lebih cenderung menekankan pada proses memonitor kesadaran mengenai
pengetahuhuan, strategi, dan proses berpikir diri sendiri melalui pertanyaan –
pertanyaan. Pertanyaan – pertanyaan ini pada dasarnya adalah pertanyaan yang
dapat muncul dari diri sendiri dan mempertanyakan kepada dirinya.
Pembelajaran dengan
pendekatan metakognitif mendesain model pembelajaran yang mengintegrasikan
pertanyaan – pertanyaan yang bersifat metakognitif berkaitan dengan topik yang
dipelajari serta pengontrolan terhadap proses berpikir yang dilakukan.
Pertanyaan – pertanyaan metakognitif diintegrasikan kedalam bahan ajar secara
tertulis dan atau secara langsung melalui lisan dan tulisan untuk menumbuhkan
keyakinan dan kesadaran terhadap konsep dan prinsip matematika yang dipelajari
serta melakukan pengontrolan terhadap proses berpikir yang dilakukan. Secara
lisan pertanyaan guru dan dosen merangsang siswa dan mahasiswa untuk dapat
bertanya pada diri sendiri berkaitan dengan topik yang dipelajari. Pembelajaran
metakognitif, mengelola hal yang
sudah dipelajari sebelumnya atau prior
knowledge sebagai bentuk penyadaran terhadap
aktivitas kognitif yang terjadipun
tentunya akan lebih mudah dikontrol dan dimonitor melalui kelompok-kelompok yang
lebih kecil.
Mahasiswa dalam
jumlah yang kecil (kelompok) akan bekerjasama, belajar bersama, berkolaborasi untuk maju bersama pula. Pembelajaran
demikian bisa dilakukan dengan pembelajaran kolaboratif (Widjajanti, 2010)
karena pembelajaran kolaboratif dapat membantu perkembangan kemampuan berpikir
melalui diskusi, mengklarifikasi ide, dan mengevaluasi ide-ide lain (Gokhale,
2010). Kolaborasi juga merupakan salah satu kompetensi kecakapan abad 21 yang
harus dimiliki peserta didik (KEMDIKBUD 2017). Pembelajaran kolaboratif ini
bisa dipadukan dengan pembelajaran metakognitif dan selanjutnya disebut sebagai
pembelajaran metakognitif dalam setting kolaboratif dan diharapkan dapat
menfasilitasi perkembangan kemampuan berpikir siswa maupun mahasiswa.
Penulis:
Muntazhimah
Dosen Pendidikan Matematika FKIP UHAMKA
Kandidat Doktor SPs UPI